Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mungkinkah Mantan Narapidana Jadi Menteri dan Presiden?

7 Agustus 2019   16:04 Diperbarui: 8 Agustus 2019   00:44 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Narapidana: grid.id

Putusan MK tersebut juga berlaku bagi mantan narapidana menjadi calon legislatif (caleg). Dipertegas lagi dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MK) yang membatalkan dan mencabut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang berisi larangan mantan narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan seksual, maju sebagai caleg. Pasalnya, dalam UU Pemilu tidak mengatur larangan mantan narapidana nyaleg.

Inkonsistensi Pembuat UU


Suparji mengakui ada pemberlakuan berbeda di setiap pemilihan jabatan publik. Sehingga pemberlakuan UU nya pun berbeda. Apalagi setelah adanya judical review atau uji materi UU di MK. Suparji melihat ada inkonsistensi dari pembuat UU yakni pemerintah dan DPR. Seharusnya, mengacu pada putusan MK dan MA yang dijabarkan di atas, maka mantan narapidana bisa menjadi menteri, presiden, wakil presiden maupun jabatan publik lainnya.

Ditambah putusan MK itu berlaku untuk semua warga negara dan harus dipatuhi. Belum lagi melarang mantan narapidana menjadi pejabat publik itu melanggar hak asasi manusia. Hal itu beracuan pada Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke IV yang berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Namun Suparji kembali menegaskan bahwa seseorang yang pernah punya masalah dengan hukum dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht, secara etika tidak memiliki ruang sebagai pejabat publik. "Masih banyak orang yang tidak bermasalah. Itulah prioritas yang harus diberi kesempatan," tegasnya.

Suparji mengatakan inkonsistensi pembuat UU ini terjadi karena UU adalah produk politik, sehingga sangat dipengaruhi faktor kepentingan politik. Namun ia memberikan solusi agar masalah ini bisa di atasi. 

Pertama, setiap UU harus jelas landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Kedua, sinergi dan harmonisasi secara kongkret dalam penyusunan UU. Ketiga, janji kampanye Jokowi dalam debat Capres 2019 untuk membentuk Badan Legislasi Nasional tidak menjamin untuk memgatasi masalah inkonsisten ini jika masih terjadi ego sektoral. Keempat, lakukan evaluasi pelaksanaasn UU secara berkala dan secara empiris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun