sumber gambar: pixabay.com
Lensa kamera itu berkontraksi, sebentar kemudian membesar. Di seberang lensa sana, seorang wanita berparas rupawan sedang berbincang dengan direktur utama sebuah korporasi nasional. Mereka berbincang asyik seolah tidak sedang diawasi kamera yang sedari tadi turut menemani di dalam ruangan. Beberapa istilah ekonomi, pasar modal, hedge fund, dan IPO kerap terdengar diselingi tawa kecil si gadis dan anggukan wibawa sang direktur.
Klik! Ujung jari lelaki itu bersandar lembut di atas tombol shutter. Dan beberapa kali mengabadikan momen alami yang mengguratkan beribu makna. Akhirnya, setelah lima jam berada di dalam ruangan yang baginya serasa di dalam kulkas itu, ia menyelesaikan pengambilan video dan gambar. Ini adalah scene terakhir dari project selama seminggu penuh itu. Ketika membereskan perlengkapan, seorang wanita lain—yang tak kalah rupawan, menghampirinya.
“Video teaser kami tunggu besok lusa ya. Dan untuk full version sudah harus kami tayangkan minggu depan. Jadi kirimkan sebelum itu. Pelunasan pembayaran akan kami transfer setelah video full kami terima,” kata wanita yang ternyata adalah asisten direktur itu. Singkat, langsung, dan tanpa babibu. Tipikal wanita karir ibu kota. Sepintas kemudian, ia berbalik tanpa menunggu jawaban dari yang diajak bicara.
Senyum lelaki pengambil gambar video itu mengembang. Desahnya dalam hati, “Akhirnya, aku bisa pulang.”
***
Papan jadwal kedatangan terus berkerlip di atas sana. Suara ribuan orang yang bercakap menjadi satu. Para penumpang, beberapa pramugari yang melintas, petugas administrasi di security check, sepasang orang tua dengan anak-anaknya yang berlarian di tengah lobby dengan langit-langit yang sangat tinggi, dan petugas kebersihan dengan alat pembersih lantai berteknologi terkini.
Klik! Ini sekian kalinya ia menangkap momen di sana. Yaitu ketika beberapa rombongan anak muda berwajah Tiongkok, Timur Tengah, dan India berjalan sambil mengobrol dengan riang. Seolah baru pertama kali mengunjungi negara tersebut dan melihat bandara semegah istana negara. Tampaknya mereka adalah peserta pertukaran pelajar dari negeri seberang. Setidaknya, mungkin, dia bukan satu-satunya orang yang baru pertama kali ke tempat ini. Yang jelas itu adalah penerbangan pertama selama hidupnya. Pertama dan lintas negara.
Dengan dada yang tak hentinya bergemuruh dan dipenuhi rindu yang sesak, ia melangkah ke pintu keluar. Kakinya terasa berat. Bagaikan ada beban puluhan kilogram menahan. Mata yang bening itu mulai berair. Tidak pernah seorang pun melihatnya menangis. Termasuk aku. Kecuali petugas bandara yang mengecek identitas bagasinya—yang sesungguhnya juga tak peduli terhadap seorang Indonesia berpenampilan biasa saja.
Ini bukan kisah cinta yang diperankan oleh Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Ini bukan cerita tentang Tom Hanks yang terjebak di dalam bandara tanpa identitas warga negara. Ini adalah cerita tentang seorang pengambil gambar yang menjemput pergi. Tentang seorang anak yang tidak hanya sekian purnama tidak bertemu, tetapi belasan lebaran ia rayakan sendiri. Ini kisah tentang anak bumi pertiwi yang pulang ke negeri seberang.
***
Tidak ada yang benar-benar mengenalnya, tidak ada yang tahu berapa saudara yang ia punya, dan bahkan tidak ada yang peduli dengan cerita-nya. Orang-orang hanya peduli dengan hasil jepretan kamera dan video editannya. Saat itu, jika kau hendak mencari seorang muda yang master dalam urusan fotografi dan sinematografi, datanglah padanya. Berbagai pesanan untuk membuat video profil, iklan, pre-wedding pun memenuhi to-do-list hari-harinya. Setiap orang yang membutuhkan foto ID, produk, dan bahkan foto profil baru untuk socmed-pun berbondong-bondong meminta tolong padanya.
Ratusan gambar yang tak ternilai maknanya telah tertangkap kameranya. Puluhan video yang diambil dan di-edit sendiri olehnya telah goes viral di berbagi social media. Ribuan kisah telah tertangkap dan diceritakan oleh lensa itu, tetapi tak ada satu pun merupakan kisah dirinya.
Lagi-lagi, semua orang datang dan pergi hanya untuk menggunakan jasanya. Beberapa kali ia berani memasang tarif dengan nominal yang membuat mata berbinar—untuk ukuran mahasiswa tentunya, namun jauh lebih sering ia rela tak dibayar ketika mengatasnamakan pertemanan. Mereka semua hanya peduli atas gambar dan video yang keluar dari kamera DSLR itu. Mereka tak memusingkan lelaki yang selalu berada di baliknya. Orang yang memicingkan mata di lubang fokus. Menekan tombol shutter beratus kali untuk menangkap momen yang mungkin hanya muncul dengan satu per sejuta kemungkinan. Mondar-mandir ke sana kemari mencari sudut yang paling tepat. Mengedit video semalaman (bahkan bermalam-malam) untuk mendapatkan hasil yang orang bilang perfect, excellence, atau masterpiece.
Di kesehariannya, dengan bermodalkan sepeda rakitan yang dibeli di toko barang bekas, ia berangkat kuliah, mengumpulkan tugas paper, memperhatikan dosen dengan mata yang terkantuk-kantuk, pergi ke warung untuk menyantap sepiring nasi berlauk telur, dan kembali lagi ke kamar 2x3 nya. Di kamar itu—yang telah menjadi ruang privasi sekaligus studio pribadinya, ia mengerjakan semua orderan. Baju dua hari lalu masih bertumpuk di kasur, remahan biskuit keju bertebaran, beberapa sarang laba-laba hampir mencapai rambutnya, ia tetap bisa bekerja semalaman. Siapa pun tidak akan menyangka jika karya-karya masterpiece lahir dari dalam kamar—yang seperti gudang—itu.
Baiklah, jika mereka memang tidak mau tahu dan merasa tidak perlu tahu ceritanya. Akan kuceritakan pada kalian beberapa rahasia kecil dari si pengambil gambar. Ia adalah seorang yatim yang sudah ditinggal ibunya untuk menjadi TKI sejak balita. Dengan penuh kasih sayang, ia dibesarkan oleh nenek tercinta di rumah berdinding bata. Dan hingga kini ia tak pernah tahu rasanya menjadi bocah lelaki dari seorang bapak—ayahnya meninggal enam bulan sebelum ia melihat dunia. Untung saja, ada seorang paman yang terbilang ‘lebih mampu’ dibanding jajaran persaudaraan orang tuanya, yang peduli untuk membiayai pendidikannya. Tumbuh sebagai anak tunggal, tanpa pernah merasakan kehadiran seorang bapak, ia harus belajar dan belajar. Memenuhi syarat minimal nilai untuk mahasiswa ber-beasiswa.
Mungkin kisah ini beberapa kali kita dengar dan baca. Seorang anak dengan kisah keluarga yang kekurangan dan kemudian tumbuh menjadi bintang di kelas, ahli di bidang ilmunya, terbang ke luar negeri, bekerja di perusahaan multinasional ternama, kembali membawa kesejahteraan baru untuk orang tua dan keluarga, mulai menulis novel, masuk di acara talkshow dalam layar kaca, hingga akhirnya menjadi orang yang dikenal di mana-mana. Sayangnya berbagai hal tersebut tidak dialami oleh lelaki itu. Dia memang pekerja keras. Namun, tujuan hidupnya sangat sederhana, memberikan dampak pada orang-orang di sekitarnya dan bertemu bunda tercinta. Menulis cerita tentang kisah hidupnya pernah sekali terbesit. Tetapi tutur katanya ternyata tidak selihai kameranya menulis cerita.
Dan ketika itulah ia menyadari minat dan bakat di bidang fotografi dan sinema. Berawal dari meminjam kamera kawan. Jepret sana sini. Karyanya diakui. Mendapat banyak orderan. Receh demi receh terkumpulkan. Kamera baru pun bisa terbeli. Dan sampai di sanalah dia. Berdiri di dalam ruangan di lantai dua puluh delapan gedung mentereng di Jalan Sudirman. Berkat berbagai karya masterpiece, ibu kota pun memanggilnya.
Namun, kali ini bukan receh lagi yang ia dapat, melainkan tarif profesional yang dibayarkan untuk jasanya dalam membuat video iklan selama satu setengah menit untuk perusahaan. Nominal tersebut sudah lebih dari cukup untuk membekali kepergiannya.
***
Wanita tua itu berdiri kaku. Tergugu dalam isakannya. Tangannya menutup mulut yang bergetar. Desisan mengucap nama Tuhan lirih terdengar. Apakah benar yang berdiri di depan rumah itu adalah putraku? Tanyanya dalam hati.
Si pengambil gambar hanya bisa terdiam. Menatap wajah renta itu. Wajah yang tak semuda sebagaimana ingatannya dahulu. Namun tetap saja ia lekat dan telah memenuhi memorinya. Menemani malam-malam panjang saat mengedit ribuan frame dan gambar. Berkelebat cepat di ujung-ujung dzikirnya.
Sudah ribuan malam ia lewati tanpa pernah tahu kabar ibunya. Tanpa pernah bisa berkirim surat. Tak ada video call. Tak ada pesan singkat di instant messaging. Bahkan tak ada alamat yang tepat. Tak ada. Dan sekarang, berkat jerih payah dan kenalan asosiasi fotografer di mana-mana, ia bisa datang. Menjemput rindu sang ibu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI