Beberapa hari berikutnya dipenuhi dengan kekacauan. Liliana, yang putus asa untuk merebut kembali kendali, mulai menyebarkan gosip-gosip kejam tentang Ariana dan Kenandra. Dia memutarbalikkan kebenaran, mengubahnya menjadi senjata dan menyebarkan kebohongan tentang keterlibatan Ariana dalam urusan bisnis ayahnya, melukiskan dirinya sebagai sosok yang licik dan haus kekuasaan, sama seperti dirinya. Dia memanipulasi teman-teman lama, anggota keluarga, siapa saja yang bisa dia hubungi, untuk berbalik melawan mereka.
Kekejaman Liliana tidak kenal ampun. Dia merusak prospek karier Ariana, membocorkan informasi palsu kepada atasannya. Dia bahkan berusaha memanipulasi anggota keluarga lain, mencoba membalikkan mereka untuk melawan Ariana dan Kenandra. Dia rela menghancurkan segalanya demi menghancurkan mereka.
Telepon Ariana terus berdering dengan panggilan dan pesan marah, masing-masing lebih kejam dari yang sebelumnya. Orang-orang yang dulu dia percayai kini melihatnya sebagai penjahat. Teman-temannya mulai menjauh, loyalitas mereka tergoyahkan oleh kebohongan Liliana. Rasanya seolah seluruh dunia berbalik melawannya.
Kenandra, yang selalu menjadi pelindung, tetap berada di sisinya, namun bahkan keyakinannya mulai goyah.
"Kita harus lebih pintar dalam menghadapi ini," katanya, suaranya tegang.
"Liliana bermain kotor. Kita harus melawan, tapi harus hati-hati. Kalau kita ceroboh sekarang, kita bisa kehilangan segalanya."
Ariana mengangguk, hatinya terasa berat dengan segala tekanan yang ada. Rasanya seperti mereka terjebak dalam pertempuran tanpa akhir dan tak ada jalan keluar.
***
Berminggu-minggu berlalu, dan tekanan semakin besar. Namun di tengah semua itu, Ariana mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam hubungannya dengan Kenandra. Mereka selalu menjadi mitra dalam perjuangan ini, tetapi kini, ikatan di antara mereka semakin dalam. Kesulitan bersama telah mendekatkan mereka, membentuk hubungan yang tak bisa dipatahkan.
Suatu malam, saat mereka duduk di apartemennya, semua yang mereka rasakan akhirnya meledak. Ariana menatap Kenandra, matanya dipenuhi rasa syukur dan sesuatu yang lebih. Dia sudah lama berusaha untuk menahan perasaannya, menghindari perasaan yang terlalu dalam, namun kini, dia tidak bisa lagi mengabaikannya.
"Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa Kak Ken," katanya, suaranya bergetar.
"Kak Ken sudah jadi tempat aku berpijak. Aku..."
Dia berhenti, tak tahu bagaimana melanjutkan kalimat itu.
Kenandra menatapnya, ekspresinya lembut, matanya penuh pengertian.
"Ariana, kau tidak perlu berkata apa-apa. I've always got your back."
Namun, saat itu, sesuatu berubah di antara mereka. Perasaan yang tak terucapkan, rasa saling menghormati, kepercayaan, semua itu tidak lagi hanya persahabatan atau keluarga. Mereka lebih dari itu. Ikatan yang tumbuh di antara mereka kini muncul ke permukaan.
Kenandra mendekat, bibirnya hampir menyentuh dahinya.
"Kita sudah melalui begitu banyak bersama. Dan aku rasa... aku rasa aku sudah tahu sejak lama kalau itu kau. I don't want to live in a world where you're not in it."
Jantung Ariana berdetak cepat. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia membiarkan dirinya merasa, benar-benar merasa, apa yang selama ini tumbuh di antara mereka.
"Aku rasa aku juga tahu," bisiknya, napasnya tercekat.
Mereka berciuman, perlahan pada awalnya, seolah menguji perasaan masing-masing. Namun, semakin dalam, keduanya kehilangan diri mereka dalam momen itu, dalam pemahaman bersama bahwa apapun yang akan terjadi selanjutnya, mereka akan menghadapinya bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI