Dulu, kudeta datang para tentara dan bau mesiu. Kini, kudeta datang lewat meja rapat, keputusan hukum, dan lobi lobi senyap. Kita tidak ada lagi suara tembakan, tapi kita merasakan pertempuran suara peluru ini di hati,ketika suara rakyat dipelintir, ketika hukum seolah hanya tajam ke bawah, dan ketika kekuasaan berpindah tanpa kita sadari.
Kudeta hari ini tidak butuh lagi senjata. Ia cukup memakai wajah demokrasi, sambil perlahan mengupas nilai nilai yang membuat demokrasi itu hidup. Dan kita semua, menjadi saksi atau mungkin korban yang pelan pelan terbiasa.
Gejala Gejala Kudeta Halus di Indonesia Saat Ini
Di negara demokrasi, kekuasaan seharusnya lahir dari rakyat, dijalankan oleh pemimpin yang dipilih secara adil, dan dikontrol oleh hukum yang berpihak pada keadilan. Tapi, apa jadinya jika semua itu hanya tampak di permukaan?
Beberapa gejala yang kini terasa seperti aroma aroma  kudeta versi modern antara lain:
1. Aturan yang Bisa Disesuaikan
Ketika aturan bisa berubah tergantung siapa yang sedang memegang palu sidang, kita mulai bertanya: hukum masih jadi fondasi, atau sudah jadi alat? Jika masa jabatan bisa diperpanjang, atau batasan bisa direvisi secara mendadak, siapa sebenarnya yang dilindungi?
2. Lembaga yang Kehilangan Taring
Ada lembaganlembaga yang dulu disegani, kini hanya seperti bayangan. Mereka hadir, tapi tak lagi menggigit. Diam ketika seharusnya bersuara. Lunak ketika seharusnya tegas. Rakyat pun mulai kehilangan harapan pada penjaga keadilan.
3. Pemilu yang Terasa Hambar
Pemilu tetap digelar. Spanduk tetap berkibar. Tapi entah kenapa, semuanya terasa seperti pertunjukan yang skenarionya sudah selesai ditulis. Rakyat hanya menonton, bukan menentukan. Pilihan ada, tapi arahnya seperti sudah disiapkan.
4. Dinasti yang Tumbuh Diam Diam
Kekuasaan seharusnya berganti melalui proses terbuka, bukan diwariskan secara halus. Tapi kini kita mulai melihat nama nama yang terus berulang. Bukan karena prestasi, tapi karena garis keturunan. Demokrasi pun perlahan berubah jadi kerajaan dalam baju sipil.
5. Media dan Narasi Tunggal
Ketika banyak media memilih diam atau menyuarakan hal yang sama, kritik dianggap subversif, dan opini berbeda dianggap mengganggu stabilitas di situlah kita sadar: ruang bicara kita makin sempit.
Gejala gejala ini mungkin tidak langsung menggulingkan kekuasaan. Tapi mereka perlahan menggoyahkan kepercayaan rakyat. Dan ketika rakyat tak lagi percaya, apa bedanya dengan kudeta yang perlahan membunuh semangat demokrasi?
mungkin kami di suruh diam ,
Kudeta Itu Bukan Sekadar Perebutan Kursi
Demokrasi tak hanya soal pemilu lima tahun sekali. Ia hidup dari kepercayaan, keterbukaan, dan kesetaraan dalam akses terhadap kekuasaan. Ketika semua itu mulai hilang, maka kita perlu bertanya tanya,
masihkah kita hidup dalam demokrasi, atau hanya sisa sisanya?
Kudeta zaman sekarang tidak lagi datang dengan senjata. Ia datang pelan, lewat ruang sidang, lewat pencitraan, lewat narasi yang diulang terusmenerus. Dan ironisnya, semua itu bisa terjadi tanpa satu pun peluru ditembakkan.
Sebagai rakyat, mungkin kita tidak punya kekuatan sebesar mereka yang duduk di atas. Tapi kita masih punya satu hal: suara dan kesadaran. Dan selama itu masih kita pelihara, semangat demokrasi belum sepenuhnya mati.
Karena yang paling berbahaya dari kudeta adalah ketika rakyat tidak sadar bahwa mereka sedang dikudeta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI