Aku harus punya hati yang lapang untuk tempat manusia melukis luka pada diriku. Tuhan begitu murah hati telah menciptakanku dengan ingatan yang sangat amat baik. Sayangnya, Tuhan tidak menciptakan aku sebagai seorang pemaaf. Sehingga setiap kali aku melihat wajah-wajah manusia, yang ku ingat adalah segala rasa sakit atas ucap dan tingkah laku mereka.
Aku jadi benci manusia. Tak ada manusia yang tak benar-benar menyakitimu di dunia ini. Entah karena diri mereka sendiri atau ekspektasi yang kau ciptakan sendiri.Â
Aku sudah terlanjur memilih menjadi manusia. Makhluk Tuhan yang punya hati dan ekspektasi. Suatu pilihan yang sangat membahagiakan untuk ayah dan ibuku. Suatu pilihan yang sangat memalukan untuk disesali, tentu saja. Aku tidak akan menyesal atas pilihan-pilihanku berikutnya. Termasuk pilihan untuk membangun benteng yang sangat tinggi terhadap manusia.Â
Dengan begitu, aku akan melindungi orang lain dan juga diriku sendiri. Kalau aku tak bisa menjadi pemaaf, setidaknya aku tak akan terluka. Agar setiap wajah yang ku lihat tak lagi mengingatkanku pada luka. Tentu saja untuk membangun benteng aku butuh jarak, waktu dan biaya. Hah, masalahnya aku bukan Bandung Bondowoso yang menciptakan Prambanan dalam satu malam saja.
Atau bagaimana kalau aku jadi kucing saja?