Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Amor Fati dan Bagaimana Sebaiknya Kita Mencinta

4 Oktober 2020   12:14 Diperbarui: 4 Oktober 2020   12:36 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cinta merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Merasakan cinta dan mendapatkan cinta merupakan hal membahagiakan seluruh umat manusia yang tak dipungkiri lagi.

Pun demikian sebaliknya, akan menjadi hal yang tidak membahagiakan bagi setiap manusia apabila cintanya ditolak, mengalami cinta bertepuk sebelah tangan, bahkan dikhianati dalam percintaannya. Tak terkecuali Nietzsche.

Penolakan cinta merupakan gambaran tragis bagi anak muda. Dua kali lamarannya ditolak oleh perempuan yang dicintainya, Lou Salome, akhirnya Nietzsche memilih untuk hidup dalam kegamangan, pilihan yang sesungguhnya tepat untuk seseorang yang sanggup menguatkan dirinya tanpa pretensi dari pihak luar.

Ketika kebanyakan dari kita menerima kemalangan, kegagalan, kita mencoba mencari sesuatu untuk mengutuhkannya dalam bentuk alasan atau kilah yang sanggup menguatkan diri kita, orang biasanya akan beralasan bahwa dirinya memang tidak pantas untuk bersanding dengan orang yang dicintainya karena hal ini dan itu, atau beralasan bahwa memang dirinya belum menjadi sosok yang baik untuk orang yang dicintainya, sehingga hal ini akan memberikan kekuatan bagi seseorang untuk tetap berdiri tegar. Namun berbeda dengan Nietzsche, kemalangan yang menimpa hidupnya diafirmasi sedemikian rupa, diterima tanpa syarat sebagai aktualisasi apa yang disebutnya Amor Fati (mencintai takdir).

Entah merasakan hal baik saat mencintai maupun hal buruk seperti memiliki pacar selama bertahun-tahun tetapi akhirnya menikah dengan yang lain, tidak mendapat restu dari keluarga, terhalang oleh perbedaan, dan hal buruk lainnya yang kita rasakan saat mencintai itu adalah realitas yang harus kita hadapi dalam mencintai seseorang.

Realitas terus-menerus berjalan tanpa adanya kepastian. Sekalipun kita percaya hal buruk dapat dicegah dengan berbuat baik, namun realitas tidak berjalan dengan demikian karena terkadang justru yang kita dapatkan dari berbuat baik adalah hal-hal buruk, pun dalam mencintai; seseorang bisa saja mengetahui pasangannya selingkuh setelah setia dengannya dalam beberapa waktu; seseorang bisa saja mengalami hal-hal yang tidak mengenakan setelah menikah atau tinggal bersama kekasihnya untuk waktu yang lama, padahal sebelum menikah atau tinggal bersama sang kekasih menunjukan sikap-sikap yang baik adanya; seseorang bisa saja ditinggal kekasihnya sekalipun telah melakukan sumpah setia dalam pernikahan; bahkan seseorang bisa saja mencintai orang lain yang bukan pasangannya sekalipun telah melakukan janji suci di pernikahannya. Inilah yang perlu kita pahami bahwa tidak ada yang pasti karena realitas menawarkan banyak sekaligus beragam kemungkinan.

Hal-hal buruk yang kita rasakan membuat semua pegangan kita terasa tersapu bersih, hancur tidak tersisa, dan yang terbentang hanyalah rasa yang tidak mengenakan hati; rasa kepercayaan bak lentera yang menerangi perjalanan cinta, gelora cinta yang menghangatkan setiap momen bersama, kesetiaan yang bagaikan ikatan suci, semua itu lenyap; semua lentera padam, semua tali-temali putus, semua yang menghangatkan menjadi lebih dingin, semua cahaya menjelma menjadi kesuraman, semua kebahagiaan menjadi kemuraman -- kita terombang-ambing dalam perasaan galau, gundah gulana, gelisah, takut, marah, mengutuk semua yang ada di sekeliling kita. Hal yang terjadi akan sebaliknya saat kita merasakan hal-hal baik dalam mencintai namun tetap saja, berbagai kemungkinan baik-buruk seperti yang telah diungkapkan di atas bisa saja terjadi kepada diri kita sendiri terlepas dari perbuatan kita yang baik maupun buruk karena fakta bahwa penderitaan dan kehilangan adalah sebuah keniscayaan dari karakteristik kehidupan -- dan ini juga termasuk ke dalam hal-hal yang harus kita tanggung selama kita hidup.

Amor Fati mengajak pencintanya untuk senantiasa memikul kehidupan ini tanpa melakukan dikotomi, kebaikan -- keburukan, kejahatan -- kepahlawanan, dan lain sebagainya. Maksudnya di sini bukan berarti kita menurut, mengekor, dengan membabi-buta menjalankan hidup secara semena-mena, menjadi dekaden menerima kehidupan apa adanya tanpa melakukan apapun, melainkan kita akan selalu siap menerima segalanya yang terjadi, baik-buruknya hal tersebut, tanpa sedikitpun harus menyangkal, harus menjadi dekaden, harus menjadi seseorang yang kemudian pasif hanya karena takdir yang diterimanya terasa tidak menyenangkan dan inilah yang disebut Nietzsche sebagai "Affirmation of Life" (afirmasi terhadap kehidupan) -- dan kini di matanya yang awas itu, kehidupan tidak di-iya-i atau di-tidak-i secara naif, melainkan diterima apa adanya dengan seluruh aspek kewaspadaan dan jarak seperlunya.

Meskipun Amor Fati mengajak manusia untuk mengafirmasi sedemikian rupa apa saja yang terjadi padanya, diterima tanpa syarat, namun Amor Fati bukannya mengajak seseorang menjadi sosok manusia yang menyerah begitu saja, yang menjadi manusia dekaden. Melainkan sebaliknya, Amor Fati mengajak manusia untuk menanggungnya, mengafirmasi, tanpa sedikitpun menyerah, tanpa menjadi pasif; menanggung serta menerima yang buruk, yang bijak, yang salah, yang baik, atas apapun yang terjadi pada diri kita dengan kekuatan dan rasa terima kasih yang mencakup semua yang berbatasan dengan semacam antusiasme kasih sayang tanpa sedikitpun merasa berkewajiban menghapus masa lalu. Amor Fati tidak hanya mencari dan menanggung hal-hal yang sifatnya menyenangkan dalam hidup saja, tetapi juga hal-hal yang sifatnya tidak mengenakan karena hal tidak mengenakan itu juga merupakan bagian dari salah satu kemungkinan takdir yang akan kita terima tanpa sedikitpun bisa kita tangkal atau sangkal -- bahkan sekalipun ia merupakan tragedi.

Kendati demikian, Amor Fati tidak hanya diperuntukan bagi peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan cinta romantis, namun bagi seluruh aspek kehidupan manusia -- bahkan bisa dikatakan Amor Fati itu sendiri pun bukanlah suatu bentuk cinta romantis. Ajakan untuk mencintai hidup melalui Amor Fati sendiri diharapkan menjadikan sesosok manusia bisa melampaui dirinya, yang sebelumnya, secara terus-menerus, menuju Ubermensch (manusia yang melampaui). Inilah yang dikatakan bahwa Amor Fati tidak mengajak manusia menjadi decaden (merosot, menurun) melainkan ascenden (menaik). Ubermensch Ubermensch sendiri pun bukan merupakan suatu tujuan, bukan merupakan bentuk atau wujud manusia yang final, Ubermensch adalah suatu proses melampaui diri terus-menerus. Amor Fati mengajak kita untuk menjadi sosok yang mencintai hidup dengan mengafirmasi segalanya (kebaikan serta keburukan) yang terjadi dalam hidup, mengambil jarak dan menebak-nebak sebuah horizon baru bagi hidup yang menaik dan menguat (ascenden) -- termasuk pada saat kita sedang mencintai. Bisakah kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun