Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nietzsche, Mati yang Hidup

29 Januari 2020   09:27 Diperbarui: 30 Januari 2020   13:06 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Nietzsche, orang-orang dekaden merupakan orang-orang sakit yang semakin sakit setiap harinya. Idea fixe bagi sebagian orang mungkin berfungsi sebagai obat, namun hal fiksatif ini jika dikonsumsi berlebihan hanya akan menjadi candu yang justru semakin membuat sakit -- ketergantungan hingga menjadi martir, pun tidak mengonsumsi hal tersebut merupakan hal yang tidak mungkin karena berpihak pada fiksatif ketidakpercayaan akan idea fixe juga merupakan konsumsi yang jika berlebihan pun akan menjadikan seorang ateis bergantung dan menjadi martir, menjadi dekaden. 

Ketergantungan di sini berarti keengganan untuk mengevaluasi kembali nilai-nilai yang kita percayai -- teisme, ateisme, agama, ideologi politik, sains positivisme, sains naturalisme, dan lain sebagainya, singkatnya mereka menjadi dekaden. Manusia yang mengevaluasi setiap nilai terus-menerus, menanyakan segala idea fixe dan tidak berdiam diri di dalam idea fixe (percaya pada finalitas sesuatu, pada finalitas idea) bagi Nietzsche merupakan sosok manusia menaik, asenden.

Keengganan Nietzsche untuk memulai dengan jatuh dalam suatu fiksasi akan idea, menjadikan Nietzsche berada di antara tegangan Ya dan Tidak, membuatku sepakat dengan Romo Setyo A. Wibowo bahwa Nietzsche merupakan sosok yang saleh. Apakah Nietzsche beragama? Jelas tidak karena ia anti dengan yang namanya idea fixee, namun apakah ia ateis? Tentu namun perlu digarisbawahi bahwa ateisme Nietzsche di sini pun anti dengan idea fixe ateisme. 

Nietzsche saleh karena ia tidak merusak realitas, ia mengajarkan kita untuk menerima serta menghadapi realitas apa adanya -- tentu saja realitas yang terserak dan merupakan campur-adukan dari kebenaran, kesalahan, kebaikan, keburukan. "Kebijaksanaan adalah serangkaian kejahatan atas alam!" begitu kata Nietzsche. 

Apa maksudnya? Ya! Kebijaksanaan agama, teisme, ateisme, saintifik, dan lain sebagainya telah merusak alam -- merusak realitas yang campur-aduk ini. Nietzsche menganalogikan kehendak akan kebenaran (idea fixe) seperti suatu kota yang dijaga ketat oleh polisi yang menyensor setiap hal yang memasuki kota tersebut.

Manusia yang terpaku pada idea fixe cenderung selalu menginginkan dirinya untuk selalu benar, tidak pernah salah. Pertanyaanku pada mereka adalah kenapa sih mereka harus benar dan tidak mau salah? Toh, bukankah realitas ini merupakan campur-aduk antara kebenaran dan kesalahan, yang juga berguna? Bagiku, ini merupakan utopia manusia demikian. 


Seandainya pun dunia hanya berisikan kebenaran, toh pada manusia akan selalu berdebat karena tentu saja kebenaran kapitalisme berbeda dengan kebenaran marxisme, bahkan kebenaran antara kapitalisme (subjek) A dengan B berbeda, bahkan kebenaran kapitalisme A1 dengan A2 berbeda. Di sini yang nampak justru bukanlah kesalahan, namun tipe-tipe kebenaran. Mengenai ini, nampaknya cukup aku akhiri dengan kutipan dari Nietzsche: "ada banyak pasang mata di dunia ini, bahkan Sphynx pun memiliki mata. Maka terdapat banyak kebenaran, dan oleh karena itu tidak ada kebenaran."

Permusuhan Nietzsche terhadap idea fixe juga nampak pada perdebatannya dengan Sokrates, namun yang nampaknya amat sengit perdebatannya dengan Platon.  Nietzsche menolak gagasan mengenai idealisme Platon yang merumuskan bahwa ada banyak hal yang ideal di dunia ideal sana. 

Bahwa ada semacam kuda ideal, aku ideal, yang tentu saja mengenai hal ini kalian bisa membaca makalah kelas filsafat yang ditulis oleh Romo Setyo, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang berjudul Sejarah Filsafat Yunani Kuna: Platon yang terbit pada 19 Maret 2016 oleh Serambi Salihara. Konsep mengenai dunia ideal melahirkan konsep dunia-sana dalam agama-agama, serupa tapi tak sama seperti pemikiran bernuansa metafisika Platon. 

Para agamawan, dalam mengajarkan atau menganjurkan sesuatu kerap diiringi dengan embel-embel dunia-sana, yang menuntut seseorang mematuhi para pemuka agama dengan membabi-buta bahkan menjadi martir untuknya. Tentu saja bagi Nietzsche ini merupakan suatu masalah!

Pendapat Nietzsche mengenai hal ini aku kutip dari karyanya Anti-Christ, sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun