Mohon tunggu...
Mohamad Rizky Fabian
Mohamad Rizky Fabian Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Pemuda berusia 18 tahun yang kebanyakan waktu luang. Tertarik dengan dunia politik dan jurnalistik. Kuliah di UPN Veteran Yogyakarta. Anggota Lembaga Pers Mahasiswa "Sikap". Fans berat Real madrid dan Lakers era Kobe and shaq.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mari Berhenti Menghakimi Keinginan untuk Bunuh Diri

20 Mei 2019   20:53 Diperbarui: 21 Mei 2019   19:20 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber Foto : City at Night by Alena Aenami

Internet dengan segala kecepatan serta kebebasannya adalah 2 buah mata pisau yang dampaknya tidak dapat kita hindari. Di satu sisi, kehadirannya mempermudah seseorang untuk mengeluarkan aspirasi. Namun disisi lain, kebebasan yang ditawarkan terkadang membuat kita tergiur untuk mencaci dan menyerang opini mereka yang tidak sepemahaman dengan kita.

Isitilah fake-depressed pun muncul ditengah perkembangan teknologi yang masif ini. merujuk kepada mereka yang haus akan perhatian dan berpura-pura memiliki mental illness. Mereka mengksploitasi sisi simpati dari diri seseorang untuk mendapatan atensi yang mereka inginkan. Tentunya tidak ada yang salah dari istilah tersebut karena memang benar adanya tipe-tipe orang yang rela melakukan apapun agar perhatian mereka dapatkan.

Mereka yang sering disebut sebagai anak-anak edgy ini menjadikan platform social media sebagai tempat berkeluh kesah. Bagi para netizen yang sering lalu lalang social media mulai dari Instagram, twitter, facebook, atau tumblr mungkin sering bersinggungan dengan para generasi millennial semacam ini. mereka secara vokal mengatakan bahwa mereka depresi dan menunujukan betapa menyedihkannya hidup mereka. Semakin menyedihkan, semakin keren. Mungkin begitu yang ada didalam pikiran mereka.

Problematika pun muncul akibat kebiasaan mereka yang berpura-pura akan kesedihan yang dialami. Masyarakat mulai menggeneralisir mereka yang secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka memiliki mentall illness. Masyarakat pun mencaci dan mengolok-olok mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan dengan ungkapan fake-depressed, tanpa menyadari dampak ataupun efek dari makian mereka.

Entah berapa banyak kasus bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini. Tren bunuh diri di kalangan anak muda pun meningkat seiring dengan perkembangan media social. Menurut data yang saya ambil dari WHO, setiap tahunnya lebih dari 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri atau satu kematian setiap 40 detik. Di negara maju tingkat percobaan bunuh dirinya lebih tinggi yaitu 12,7 per 100 ribu penduduk. Angka bunuh diri secara umum (mencakup semua jangkauan usia) memang menurun. Namun, tren bunuh diri di kalangan anak muda (15 sampai 29 tahun) terus meningkat.

Menurut WHO tingkat bunuh diri di Indonesia sebenarnya terus menurun dari tahun ke tahun. pada tahun 2000 adalah 4,3 persen. Angka itu turun menjadi 4 pada 2010. Pada 2015 angka itu menjadi 3,7. Terakhir pada 2016, tingkat bunuh diri Indonesia tetap pada angka 3,7. Namun perlu diingat tidak semua kasus bunuh diri masuk kedalam survey WHO. Banyak faktor seperti keluarga dan lingkungan yang akhirnya menutupi kasus bunuh diri yang terjadi.

Bunuh diri juga mengancam semua lapisan masyarakat. Tendensi untuk mengakhiri hidup juga dialami oleh mereka yang bisa dibilang cukup kebutuhannya. Bahkan para artis dan public figure juga tidak lepas dari bahaya mentall illness. Chester Bennington, Kim Jonghyun, dan Kurt Cobain merupakan deretan nama public figure yang memilih jalan instan untuk keluar dari masalah yang mereka hadapi. Jadi, betapa ignorant-nya kita jika menganggap mereka yang kelihatannya hidup dengan bahagia tidak bisa depresi dan tidak memiliki masalah.

"Everyone has their own devils to deal with". Setidaknya itu ungkapan yang bisa saya ambil dari kasus-kasus diatas. Contoh tadi merupakan antitesa dari anggapan bahwa hanya mereka dengan kondisi ekonomi yang sulit yang mampu merasakan depresi. Sayangnya, penanganan terhadap gangguan kesehatan mental masih terpaku di argumen bahwa dengan mendekatan diri dengan yang Mahakuasa, depresi dan masalah yang dihadapi akan hilang begitu saja.

Tentunya saya tidak membantah statement tersebut. Perbaikan spiritual merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh seseorang terhadap gangguan kesehatan mental yang dialaminya. Namun, itu bukanlah SATU SATUNYA cara. Penanganan ahli tentunya diperlukan, juga dengan dukungan moral oleh kerabat serta sahabat terdekatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun