Sulit diukur.
Tak seperti sertifikat digital, soft skill tidak selalu punya bukti fisik. Tapi dampaknya terasa dalam jangka panjang.
Dianggap sebagai "bakat alami".
Padahal, komunikasi, empati, atau kepemimpinan adalah keterampilan yang bisa diasah---sama seperti belajar bahasa asing atau mengoperasikan alat.
Apa Kata Dunia Kerja?
Menurut survei LinkedIn, lebih dari 69% perusahaan global lebih memprioritaskan soft skill saat mencari kandidat baru. Bahkan, banyak HR menyebut kegagalan karyawan bukan karena tidak bisa kerja, tapi karena tidak bisa bekerja sama.
Artinya, seberapa pun hebat kamu secara teknis, tanpa soft skill yang mumpuni, potensi besar itu bisa tertahan.
Soft Skill = Investasi Jangka Panjang
Meningkatkan soft skill bukan hanya soal karier. Ini adalah investasi hidup. Komunikasi yang baik membantumu membangun relasi sehat, kemampuan problem-solving membantumu melewati krisis, dan empati membuatmu menjadi rekan kerja, pemimpin, bahkan orang tua yang lebih bijak.
Pelatihan soft skill bukan hal mewah. Justru inilah yang seharusnya jadi prioritas.
Di era kerja yang makin kolaboratif, soft skill bukan pelengkap.
Ia adalah pondasi.
Mungkin, sekarang waktunya kita mulai mengubah cara pandang.
Bahwa belajar tidak hanya soal teknis dan angka.
Bahwa menjadi hebat bukan hanya soal tahu, tapi juga soal cara menyampaikan, cara memahami, dan cara memimpin.
Dan semua itu---berakar dari soft skill.