Mohon tunggu...
Rizky Febrinna S.Pd
Rizky Febrinna S.Pd Mohon Tunggu... Guru - Love Your Sweet Life

Write all about life, believe in your heart...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal Tiada Akhir (4)

31 Januari 2021   11:44 Diperbarui: 31 Januari 2021   11:59 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ternyata hari ini Agus hanya masuk setengah hari. Rini cemas jika harus mendengar omelan dan nasehat suaminya sepanjang hari. Sakit kuping dan kepalanya tak bisa tenang jika bang Agus sudah di rumah mengawasi gerak geriknya. Biasanya jam sembilan pagi begini dia bisa baring-baring di kamar, namun karena ada suaminya terpaksa duduk dulu di ruang tamu dilarang baring dulu. Yang lebih kesalnya lagi habis makan tadi dipaksa minum susu khusus ibu hamil oleh suaminya. Karena disaksikan oleh ibu dan ayah mertua terpaksa ditenggaknya juga. Sangat amis mual dan tak ada enak-enaknya. Aduh tak sabar dia menunggu suaminya berangkat kerja hari ini.

"Bang, jam berapa berangkat kerjanya?"

"Habis sholat Zhuhurlah nanti, untuk seminggu aku diminta oleh Rohim temanku setengah hari saja. Karena kemarin aku sudah bantuin dia ketika dia sakit."

"Terus gajinya dipotong gak nanti?"

"Ya tidaklah, kamu tenang saja. Lagian hanya seminggu ini. Rencananya bulan depan mau minta shift malam saja, biar dari pagi hingga sore aku bisa kontrol makan dan minum kamu."

"Kenapa pulak harus dikontrol. Aneh!"

"Ya harus, kamu tu sering meleset Rin."

"Kan ada Ibu dan Ayah. Abang tak lercaya mereka?"

"Buktinya kemarin, sedikitpun tak kamu dengarkan omongan Ibu dan Ayah."

"Ya aku minta maaf yang kemarin. Selanjutnya aku janji akan dengarkan bang."

"Bagus kalau begitu, semua kan demi kebaikan anak kita Rin. Biar sehat, kuat dan tak kurang satu apapun."

"Tapi bang, kenapa orang dulu sehat-sehat saja meski banyak anak?"

"Itulah, heran juga aku. Mungkin sekarang sudah banyak makanan yang tak sehat. Jadi kita harus benar-benar dengar nasehat dan dokter."

"Iya Bang, oh iya berarti pas anak ini lahir Edo mau genap dua tahun ya Bang?"

"Iya Rin, tak terasa ya anak kita sudah bujang saja."

Rini tersenyum mendengar ucapan suaminya.

"Kamu makanya habis sholat tu doain. Ini aku lihat udah jarang pun sholatnya."

"Capek Bang, bawaannya tu mau baring aja. Ngantuk beratlah pokoknya."

"Ya lawanlah, bawa makan dan minum lagi. Nanti saja tidurnya. Kasian tu Edo tak ada kawan main."

"Ya sudah aku ke Edo dulu ya, takut Ibu capek dari tadi main sama Edo."

"Aku bersihkan selokan belakang dulu, dah penuh sampah nampaknya. Ada apa-apa panggil saja ya."

"Ya Bang."

***

Empat bulan berlalu begitu cepat, tak terasa kandungan Rini memasuki usia 19 minggu. Perutnya sudah terlihat membesar. Tetangga juga sudah banyak yang mengetahui kehamilannya. 

"Jangan di rumah aja Rin, bawa jalan kaki tu ke warung deket rumah. Itung-itung olah raga." Bu Astri yang kebetulan lewat depan rumah menyapa Rini dengan suaranya yang penuh semangat. Saking semangatnya Bu Irda ikut berhenti dan nimbrung juga.

"Iya tu Rin, dengerin bu Astri, biar gampang lahiran. Biasa anak kedua mah mudah aja keluarnya. Kan udah ada jalan ya bu ya."

"Bener tu Bu."

"Saya jalan di rumah saja bu."

"Wah udah kelihatan tu perutnya. Kalau saya dulu enam bulan baru kelihatan. Hihi."

"Sama saya enam bulan ke atas baru nampak perutnya. Makanya saya langsing begini sekarang." Bu Irda menambahkan.

"Ya bedalah Bu-Ibu, tiap kehamilan kan beda-beda! Kalau sama baru dipertanyakan!" Rini terpancing emosi juga.

"Tuh Rini, paling gak mau denger nasehat. Pamali tau. Judes amat. Ya sudah saya ke warung Bu Lina dulu. Yuk Bu Irda."

"Ayok."

Mereka berdua pergi karena tak dihiraukan Rini sama sekali.

"Siapa Rin. Rame tadi ibu dengar."

"Tetangga ujung jalan bu. Udahlah gak penting juga."

Ibu geleng-geleng kepala melihat wajah menantunya yang cemberut dan masuk ke dalam meninggalkan Edo lari-lari sendiri dengan pesawat mainannya. 

***

"Kenapa Rin?" Agus melihat Rini penuh keringat dingin dan terbaring memegang perutnya.

"Rasa mau muntah Bang, tapi kepala juga sakit." Rini merintih.

"Tadi makan apa aja? Coba ingat-ingat dulu. Biasa kalau dah salah makan selalu bikin sakit perut kan?"

"Gak ada Bang, apa yang Ibu masak ya aku makanlah."

"Obat mual dan vitamin dah minum kan?".

Rini terdiam, obat belum diminumnya. Rencananya habis makan mau langsung tidur saja tadi.

"Aku mau tidur saja Bang. Semoga aja nanti hilang sakit kepalaku."

"Mana ada sakit hilang tanpa diobat. Ini kan baru habis waktu Isya, udah sholat belum?"

"Nantilah Bang, jelas orang sakit begini disuruh sholat." 

"Kalau sakit ya sholat baring pun tak apa, asal jangan tak sholat Rin."

"Aku masih sakit Bang. Tunggulah."

"Udah ni pake jacketnya, aku siap-siap dulu ambil dompet dan kunci motor."

"Apa?!" 

Rini kaget dipaksa berobat malam ini oleh suaminya.

"Ayok duduk cepat. Ada duitnya Bang?"

"Ada. Ayok."

Mau tak mau Rini harus mengikuti kata-kata suaminya meski berat kepalanya.

***

"Tuh kan, kalau tak diperiksa tak tau aku kalau kamu tadi makan sayur nangka. Kan kamu ada sakit Maag. Tahanlah sementara saja."

"Tapi aku kepengen Bang." Rini menangis semua selera makannya membuatnya sakit tak tertahankan.

"Sabar ya, tunggu lima bulan lagi. Tak terasa itu."

"Asal Abang tau ya, satu hari itu rasanya setahun bagiku. Lama Bang!"

"Iya iya, sekarang istirahatlah dulu. Besok harus kuat demi perkembangan anak kita dalam perutmu. Dah minum obat insyaa Allah aman malam ini." 

"Edo Bang." Rini memelas berurai air mata.

"Jangan nangis terus, dah bengkak matamu tu. Edo aman dengan Ayah tadi."

"Badanku sakit semua Bang." Semakin menangis Rini sambil memeluk bantal guling.

"Tidurlah cepat."

"Aku biasa tidur dengan Edo. Bawa dia ke sini."

"Sebentar."

Setelah Edo diletakkan di kamarnya barulah tertidur lelap keduanya. Agus tersenyum dan berdoa dalam hatinya agar keluarga kecilnya selalu dilindungi Allah.. semoga Rini lebih tegar dan kuat esok harinya. Mungkin ini hanya bawaan hamil saja fikirnya.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun