Rini terdiam di depan Agus suaminya. Semua memang salahnya. Namun dia belum mau punya anak dulu. Niatnya hanya ingin satu anak saja. Apa dia tak berhak atas hidupnya sendiri? Dia yang merasa sakit selama mengandung, sakit tak tertahankan juga saat melahirkan. Hanya dia yang merasa tersiksa sendiri. Yang lain hanya bisa melihat bahkan berkata yang macam-macam. Hatinya terus mencari cara untuk menggugurkan kandungan yang berusia dua minggu tersebut. Dia yakin bisa. Siang itu Rini pergi ke Supermarket untuk membeli keperluan bulanan. Melewati rak-rak obat-obatan tangannya dengan cepat mengambil salah satu jamu yang dilarang keras untuk ibu hamil konsumsi. Dia tersenyum senang tak sabar membayar di kasir dan segera pulang.
"Rin, belanja apa itu. Kenapa disembunyikan begitu?" Ibu mertuanya curiga.
"Oh shampo bu, mau ditaruh di kamar. Permisi bu, Rini liat Edo bentar." Rini bergegas mengunci pintu kamarnya. Dia terduduk takut ketahuan suaminya lagi. Dilihatnya Edo masih pulas tidur. Anaknya itu memang ganteng sekali, pintar, karena sudah pandai jalan juga maka selalu menjadi satu-satunya yang disayang keluarga.
Rini membuka plastik belanjaannya tadi, obat itu segera ditenggaknya habis. Dia tak peduli lagi dengan resiko yang akan ditanggungnya dan janinnya. Yang ada dalam fikirannya adalah ingin segera menggugurkan janin yang tak bersalah itu.Â
***
"Aduh bang... sakit perutku bang.."
"Kamu makan apa tadi Rin? Kita ke rumah sakit yok. Aku tak mau anakku kenapa-napa."
"Jangan bang, ntar dokter bilang yang aneh-aneh lagi. Padahal cuma sakit perut biasa."
"Mukamu itu udah pucat. Yakin mau di rumah saja?"
"Ambilkan air hangat aja bang." Rintih Rini. Sakit perut ini tak biasa fikirnya. Apa ini efek yang dia minum tadi siang? Baguslah fikirnya.
"Ini minum dulu. Aku tanya ibu dulu ya."