Fatwa Haram Rokok Muhammadiyah: Antara Kesehatan, Syariat, dan Tanggung Jawab Sosial
Merokok dan Bahaya yang Mengintai
Merokok telah lama menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat. Ia dikonsumsi tanpa batas usia, tanpa pandang tempat. Padahal, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa rokok membunuh lebih dari 8 juta jiwa setiap tahunnya, termasuk 1,3 juta perokok pasif. Tak hanya mengancam individu, rokok juga membebani sistem kesehatan nasional dan ekonomi rumah tangga.
Dalam perspektif Islam, segala sesuatu yang membawa mudarat wajib dijauhi. Al-Qur'an telah memberi prinsip tegas: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..." (QS. Al-Baqarah: 195). Maka, merokok bukan sekadar soal kebiasaan, tapi perihal perlindungan jiwa, akal, dan keturunan yang merupakan inti dari maqid al-syar'ah.
Sikap Muhammadiyah: Dari Makruh ke Haram
Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam berkemajuan, tidak gegabah dalam menetapkan hukum. Proses fatwa merokok ditempuh melalui kajian panjang dan komprehensif oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, yang melibatkan pertimbangan ilmiah, medis, sosial, dan keagamaan.
Pada Muktamar Tarjih ke-22 di Padang (2005), rokok dinyatakan makruh. Namun, setelah kajian lebih lanjut, terutama terhadap dampak kesehatan dan sosial yang ditimbulkan, Muhammadiyah melalui Musyawarah Nasional Tarjih ke-26 di Garut (2010) menetapkan bahwa merokok hukumnya haram.
Fatwa tersebut tertuang dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, dengan alasan pokok: rokok bertentangan dengan prinsip syariat Islam karena lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya. Merokok bukan hanya merusak diri, tapi juga lingkungan dan generasi.
Langkah Progresif: Sosialisasi dan Substitusi
Fatwa haram bukan berarti vonis semata. Muhammadiyah memahami bahwa perubahan membutuhkan proses. Oleh karena itu, upaya pendampingan dilakukan melalui penyuluhan, pembentukan kawasan bebas rokok di lingkungan amal usaha, dan penyediaan layanan konseling berhenti merokok di rumah sakit Muhammadiyah.