Mohon tunggu...
Rizki Nurianjaya
Rizki Nurianjaya Mohon Tunggu... Akuntan - Suka Merenung

Ingin berkontribusi, supaya tidak useless rizkinurianjaya@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sapardi Djoko Damono dan Cintanya yang Sederhana

31 Mei 2021   16:49 Diperbarui: 31 Mei 2021   22:09 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disclaimer : Semua yang termuat dalam tulisan berikut adalah pendapat pribadi

Pendapat saya tentang puisi Aku Ingin milik Pak Sapardi

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana 

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 ---Sapardi Djoko Damono

 Salah satu legenda sastra Indonesia telah berpulang pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang. Raganya boleh tidak hidup bersama bersama kita lagi, tetapi seperti salah satu kutipan tulisannya "duka mu abadi", begitu pula tulisan, karya dan buah pikirnya akan abadi. Dalam wawancara singkat oleh Najwa Shihab pada video aku Ingin  yang diunggah akun Laksana Kata, Mbak Najwa seolah mewakili pertanyaan banyak orang terhadap arti puisi yang ditulis  Sang Maestro tersebut. Tidak seperti nada biasanya yang tegas memberikan pertanyaan kepada politisi, pembawaan Mbak Najwa di video tersebut bagi saya malah centil dan penuh kekaguman kepada dua sosok di depannya (Jokpin dan Sapardi). Mengawali pertanyaan dengan pengakuan pernah berhasil digombali menggunakan bait puisi tersebut, saya menangkap aura pembawa acara sangat menikmati pertemuan malam itu (di video itu gelap hehe). 

Sumber: kompas.com
Sumber: kompas.com
Secara singkat kedua sastrawan Indonesia itu menjelaskan arti puisi tersebut. Jawaban pemilik puisi itu kurang lebih begini "memang puisi itu menjadi hidup jika tafsifnya bermacam-macam, jadi begini itu kan kayu dan api bercinta terus jadi abu, sebelum bercinta sudah jadi abu", Mbak Najwa pun menyambar "ohh jadi ini cinta tak sampai" dengan nada ngeledek hehe.

 Pak Sapardi buru-buru membantah, tetapi sontak penonton tanpa ampun menertawakan respon Sang Maestro karena mungkin sudah mendapat jawaban dari puisi yang misterius ini. Dari percakapan singkat itu justru membuat saya memikirkan kembali sudut pandang tentang puisi yang baru disampaikan Pak Sapardi, sesuatu yang misterius dan multi tafsir memang menarik untuk diperbincangkan.

Mulai dari ibu-ibu yang suka gosip (biasanya banyak versi cerita sebelum fakta terungkap), remaja perempuan sampai ibu-ibu PKK yang cinta mati pada misterius nya Nicholas Saputra karena sosok Rangga yang melekat padanya sampai kalangan anak muda yang tidak suka spoiler ketika ada list film yang akan ditonton, bahkan kehidupan kita semua yang penuh misteri akan hari depan seperti apa selalu menarik untuk kita pikirkan (bahasa anak sekarang anxiety, entah sebenarnya ngerti atau tidak artinya apa tapi banyak yang memakai istilah ini)

Penjelasan pentingnya aspek misterius ini semakin membuat saya mengagumi sosok Sapardi, saya percaya beliau bukan hanya sosok penulis atau guru besar di UI yang dihormati. Seorang filsuf yang memikirkan realita dunia ini dengan tajam, yang mengomunikasikan melalui karya luar biasa tapi nikmat diterima dan mudah dikagumi. Pilihan kata 'sederhana' untuk saya adalah brilian, mewakili cara hidup dan budaya ketimuran khas Indonesia. Untuk saya pribadi kata sederhana merangkum karakter masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sebuah kristalisasi makna yang indah untuk mewakili perasaan yang diimpikan semua orang, 'mencintai dengan sederhana'.  Bahkan menurut saya, arti sederhana lebih kuat maknanya daripada simply  yang dipakai Einstein pada kutipan nya yang terkenal pada gambar berikut.

Dengan mudah kita bisa menafsirkan penonton yang tertawa pada jawaban Pak Sapardi, memiliki pikiran "pasti ini pengalaman pribadi, khususnya bagian cinta tak sampai".  Meskipun kemungkinan penafsiran itu benar, saya pribadi punya penilaian sendiri tentang puisi ini. Saya percaya puisi yang  terdiri dari satu bait dan empat baris itu bercerita tentang usaha untuk merelakan. 

Seperti proses manusia dari kecil menjadi dewasa, diawali dengan naluri memaksa (menangis saat lapar dan tidak nyaman) keinginan cocok dengan kenyataan. Tentang mengerti arti bijaksana adalah menahan diri untuk tidak memaksa meskipun keinginan (cinta) itu begitu menggelora, adalah yang juga ingin disampaikan Pak Sapardi. 

Selamat menikmati karya beliau dan tafsiran sendiri dengan bebas. Seperti waktu yang fana, saya percaya Pak Sapardi melihat cinta layaknya waktu. Dia tidak abadi, mesti dinikmati perjalanannya tapi tak perlu dipaksakan terjadi. Karena akhir darinya adalah abu, maka cukup saja kita mencintai dengan cara paling sulit yaitu 'sederhana'. 

Terakhir saya minta maaf jika ada kesalahan dalam mengutip atau menulis, khususnya pihak yang saya sebutkan kurang tepat. Saya bersedia berkomunikasi, dikoreksi dan memperbaiki.

Tangerang, 31 Mei 2021

Salam

Rizki Nurianjaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun