Sejak peristiwa di Petak Mati, Sari berubah. Ia tetap menjadi anak kecil... tapi kini ia bisa merasakan sesuatu yang tak terlihat. Ia tahu jika ada roh yang melintas, tahu saat tanah tempatnya berdiri menyimpan kutukan, dan yang paling menakutkan ia mulai mendengar suara dari dalam tanah.
Awalnya hanya bisikan. Tapi lama-lama, suara itu membentuk kata-kata:
 "Kau memecahkan cermin, tapi tak memutus akar. Aku masih di sini... kami semua masih di sini..."
Mira mulai mimpi buruk lagi. Dalam mimpinya, ia berdiri di ladang kering, dan dari tanah muncul tangan-tangan kurus yang berusaha menariknya. Di ujung ladang, ada Sari... berdiri tenang sambil memegang buku tua berwarna hitam.
Buku itu bukan sembarang buku. Itu adalah Kitab Ijah catatan terlarang milik Mak Ijah, yang dikabarkan hilang sejak malam sang kuyang terbakar.
Tapi ternyata... kitab itu terkubur di bawah rumah tua Mak Ijah, dan suara dari tanah menuntun Sari ke sana.
Satu malam, tanpa sepengetahuan siapa pun, Sari pergi ke puing-puing rumah jamu Mak Ijah. Di bawah lantai kayu yang rapuh, ia menggali dengan tangan kecilnya... dan di sanalah ia menemukan kitab itu. Terbungkus kain merah, dan masih hangat.
Begitu ia membuka halaman pertama, angin menderu kencang dan pohon-pohon sekitar merintih seolah sedang merasakan luka lama.
Halaman-halamannya berisi simbol kuno, gambar kuyang, mantra pemanggil darah... dan satu kalimat yang ditulis dengan tinta emas:
"Tak semua kuyang dilahirkan untuk membunuh. Tapi semua kuyang dilahirkan untuk memilih."