Malam Bulan Mati
Langit malam Desa Lamut diliputi hitam pekat. Tak ada bintang, tak ada cahaya --- bulan pun seolah lenyap dari langit. Malam bulan mati. Malam di mana perjanjian lama bisa dibuka... dan ditutup dengan darah.
Di tepi Sungai Petak Mati, bayi Mira masih melayang, dikelilingi cahaya hitam yang berdenyut seperti jantung. Mata bayi itu kini tertutup, tapi tubuhnya tetap mengambang di udara, seolah ditopang oleh kekuatan yang tak terlihat.
Bu Lestari berdiri di tepi sungai, tangannya menggenggam pecahan cermin kuno peninggalan ibunya --- satu-satunya benda yang bisa "memantulkan" jiwa kuyang. Ibrahim dan Pak Ranu berdiri di belakangnya, menggambar lingkaran pelindung dari garam, darah ayam hitam, dan abu pembakaran mantra.
Lalu, dari dalam sungai, muncul sosok Mak Ijah bukan kepala melayang seperti sebelumnya, tapi tubuh utuh. Namun tubuh itu busuk, kulitnya mengelupas, dan matanya kosong seperti lubang neraka.
Ia berbicara tanpa membuka mulut, "Kembalikan darahku. Biarkan warisan ini berjalan sebagaimana mestinya. Anak itu milikku... seperti kau dulu, Lestari."
Bu Lestari gemetar. "Aku bukan milikmu. Aku bukan bagian dari perjanjianmu."
Mak Ijah tertawa. "Bukan? Siapa yang kau pikir membisikkan nama-nama bayi saat kau bermimpi? Siapa yang menjaga kandunganmu dulu saat kau hampir kehilangan anak pertama? Kau sudah terikat, Lestari. Sejak lama."
Air mata Bu Lestari mengalir. Di dadanya, luka lama terasa terbuka kembali. Ia teringat keguguran bertahun lalu. Ia ingat suara-suara dalam mimpinya. Ia ingat rasa hangat yang tak pernah bisa dijelaskan...
Ternyata itu Mak Ijah.
Ibrahim berteriak, "Sekarang, bacakan mantra pemutusnya!"
Bu Lestari mengangkat cermin, menatap bayangannya sendiri... dan di belakangnya, bayangan Mak Ijah berdiri, tersenyum.
Dengan suara bergetar, Bu Lestari membacakan mantra pemutus warisan, dengan nama-nama leluhur yang telah lama dikubur. Setiap kata yang ia ucapkan, tubuh Mak Ijah mencelos. Cahaya hitam dari bayi itu mulai retak, seperti kaca yang dihantam palu.
Tapi Mak Ijah berteriak, melompat ke arah bayi itu. "Jangan! Dia satu-satunya!"
Bu Lestari menjerit, lalu melempar cermin ke tengah lingkaran mantra.
BRUK!
Cermin pecah, dan ledakan cahaya menyambar seluruh area sungai. Angin menerjang. Jeritan kuyang terdengar sampai ke langit. Bayi Mira jatuh ke pelukan ibunya, yang tiba-tiba muncul dari balik kabut, tersadar... menangis histeris.
Dan Mak Ijah? Ia terbakar dalam kabut hitam yang menelan dirinya sendiri. Hanya satu kata terakhir yang terdengar dari mulutnya:
"Aku... akan... kembali..."
Pagi harinya, kabut menghilang. Sungai Petak Mati mulai mengalir pelan. Warga Desa Lamut keluar dari rumah, melihat langit cerah pertama dalam beberapa pekan.
Tapi Bu Lestari... tak pernah kembali ke rumah.
Ia hilang, hanya meninggalkan sisa abu di tepi sungai dan cermin yang retak.
Bayi Mira selamat. Tapi setiap malam Jumat, ia bicara sendiri dalam tidur, menyebut nama yang tidak dikenalnya...
"Ijah... Ijah..."
Bersambung...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI