Sungai yang Menyimpan Janji
Angin berhenti. Dunia seolah menahan napas ketika tawa bayi itu pecah di udara malam, menggemakan suara-suara tua yang tak berasal dari dunia ini. Bayi Mira, kini bukan lagi sekadar bayi. Di balik tubuh mungilnya, ada jiwa lain yang lebih tua... dan lebih haus.
Mira memeluk anaknya erat, namun wajahnya sudah kosong. Seolah ia bukan lagi dirinya. Pak Ranu menunduk, tubuhnya gemetar. "Itu bukan Mira... dan itu bukan bayimu," bisiknya pelan.
Bu Lestari, dengan napas tersengal, melangkah maju. Ia mengangkat botol jamu darah yang dibawanya, menuangkannya ke dalam sesajen di tangan. Lalu ia menyebut nama yang selama ini hanya jadi bisik-bisik:
"Khatijah binti Raswan... Mak Ijah. Aku tahu kau belum selesai. Tapi lepaskan anak ini. Jangan teruskan kutukanmu."
Tiba-tiba, kabut membuka jalannya. Dari arah sungai, muncul sosok lelaki tua bertongkat, berjubah lusuh dan mengenakan kalung tulang. Wajahnya asing bukan warga Lamut.
"Aku mencari Mak Ijah..." ucapnya lirih, suaranya dalam dan berat. "Namaku Ibrahim. Aku cucu dari Raswan. Aku datang dari Barito... tempat asal nenekmu dulu, Bu Lestari."
Semua terdiam.
Pak Ranu melangkah ke depan. "Kau... cucu dari darah lama?"
Ibrahim mengangguk. "Nenek kalian dulu bersaudara. Tapi satu jalur ke terang... satu jalur ke kelam. Mak Ijah memilih janji di Sungai Petak Mati. Ia menyerahkan darahnya demi kekuatan, dan kekuatan itu tak bisa padam... kecuali diputus oleh darah sendiri."
Mata Bu Lestari membelalak. Ia menatap bayi itu. Lalu menatap dirinya sendiri.