Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kehadiran Puing-Puing Ingatan

1 Februari 2020   01:08 Diperbarui: 1 Februari 2020   01:30 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.gambarkartun.pro/2012

Di bawah payung langit ini; beratap mendung dan dikelilingi kabut malam ini; dihujam rintik hujan yang datang menyerbu petang hingga di ujung malam. Aku tak berani menerka hujan, tak berani melempar dendam, tak berani mengatakan 'tidak' pada kenyataan. Kalian nampak tua dan sendiri; kita di sini duduk dengan kesadaran sepi dan menepi. Kau tahu? Takkan ada orang yang sanggup mengerti.

Kita ditikam malam saat truk-truk itu datang; mengangkut perabotan; mengusir kehidupan; menajamkan pengkhianatan; merusak tatanan; mengaburkan mimpi dan harapan. Kita bertiga duduk di tepian, menyentuh debu-debu yang berserakan; kita lihat tumpukan buku-buku menghiasi perapian; tanpa sempat kita membuka pintu, aku menangis di pelukan.

Kita menghamba pada ketakutan; pada kesukaran dengan raut wajah merah padam, kita angkat keniscayaan sebagai satu-satunya kepercayaan.

Ingatkah kau betapa kita dikejar-kejar; ditampuk dan dihajar oleh gelap malam yang beringas dan tertindas pada ruangan senyap dan semesta yang pengap? Kita terseok-seok di ambang kehancuran; indikasi sulit yang mengatakan bahwa kita bukan lagi suatu keutuhan; kita tertampar dan terlempar di hari itu sebagai suatu keharusan.

Dendam demi dendam membatu; puing demi puing kita kumpulkan menjadi satu; ceceran air mata kita buang ke sudut pelarian. Ke manakah kita akan berhenti sejenak? Menikmati segelas susu coklat dan masakan yang selalu kita nantikan di pagi hari? Kita tahu, kenyataan yang dulu terjadi tidak pernah hadir kembali; kita tahu, cukup lama perasaan ini hilang, lalu muncul kembali; beriringan, mungkin selalu begini, hingga aku terdiam dan senantiasa mengingat kematian.

Kau pergi di ujung pagi saat ramadhan datang; aku menetap dan menulis beberapa kata kotor di sudut-sudut sekolah; celana yang robek dan kuacuhkan pendapat yang ada; dari yang ada menjadi tiada, dan kita dipaksa berbahagia oleh semesta.

Akan berapa buku lagi; berapa tahun lagi; berapa windu lagi, untuk dapat menerjemahkan seluruh perasaan yang tak mampu diucapkan ini?

Hanya kita bertiga yang mampu menerjemahkan perasaan ini. Maafkan, tentang beribu kepalsuan yang selama ini kupendam; selamanya dendam ini akan selalu bertumbuh dan selalu hadir mengelilingi mimpiku; betapa masa itu takkan mampu pergi dari ingatanku. Maaf, kulihat kenangan ini dan aku menangis lagi; dengan air mata kejujuran dan perasaan yang selalu membunuhku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun