Di ambang pagi, sedikit malam; di antara lelap dan sadar, kita mencari pelarian, terlepas dari waktu. Kita salahkan keadaan sebagai satu upaya pembangkangan. Kita terlelap, dan terbangun di sebuah karnaval kemunduran. Betapa lucunya!
Banyak badut-badut berseragam yang berbahagia, muda, dan sia-sia. Bagai di komedi pasar seni; ilustrasi satir yang menyayat hati. Kita berdiri tegak dengan segenggam resistensi, dan eksistensi kita yang buta terhadap warna-warna, membawa kita pada sebuah kota tanpa warna.
Telah banyak senja yang kehilangan makna, telah merebak semua objek keindahan sebagai satu-satunya kemerosotan nilai, telah menguak semua keresahan sebagai penunjang pengakuan, telah berpencar angin bersama kata-kata yang mengingkari upaya kita; terhadap semua rasa yang tercipta; perihal masa yang membawa luka; tentang pemerbaik cita rasa sebagai wujud dusta; sebagai kemajuan yang mengorbankan kedamaian.
Bukan tentang asa, bukan tentang harapan, bukan cita-cita; kita hidup bukan tentang ada, namun tentang tiada; menjadi kita yang bukan kita, bukan rasa, namun duka yang tertutupi oleh kebohongan amerta; eksistensi yang buta dan mengeluh tentang semua.
Kita berjalan mundur, bersama harapan yang terkubur; hancur, tanpa alur. Tentang apa? Tentang kita: kita bersimpuh di ambang ada dan tiada, berdiri di atas semesta yang mengada-ada. Kita merajut asa, dalam kata-kata; hingga kita menua dan sirna bersama-sama.