Di sebuah kampung kecil yang dikelilingi sawah dan pohon bambu, hiduplah seorang anak bernama Fikri. Ia terkenal sebagai anak paling nakal di kampung itu. Setiap hari ada saja ulahnya: mencuri mangga tetangga, mencoret tembok mushola, bahkan pernah melepaskan ayam-ayam warga saat lomba panjat pinang. Warga sudah lelah menegurnya, dan ibunya hanya bisa menangis dalam diam.
Fikri sebenarnya tidak sepenuhnya jahat. Ia hanya kesepian. Ayahnya pergi merantau sejak ia kecil dan tak pernah pulang. Ibunya bekerja sebagai buruh cuci, pulang larut malam. Fikri sering makan sendiri, tidur sendiri, dan bermain dengan bayangannya sendiri. Nakalnya adalah caranya berteriak minta perhatian.
Suatu malam, setelah dimarahi guru ngaji karena mencoret Al-Qur'an milik teman, Fikri duduk termenung di tangga mushola. Bulan bersinar terang, dan suara jangkrik bersahut-sahutan. Ia menatap langit dan berkata lirih, "Ya Allah, kenapa aku selalu dimarahi? Apa aku memang harus jadi anak nakal selamanya?"
Tak disangka, seorang kakek tua yang biasa membersihkan mushola duduk di sampingnya. "Nak, kadang orang nakal bukan karena ingin jadi jahat. Tapi karena hatinya sedang sakit," ucap kakek itu. Fikri menunduk. Itu pertama kalinya ada orang yang tidak langsung menghakiminya.
Kakek itu kemudian mengajarinya sebuah doa sederhana, "Ya Allah, jadikan aku anak yang disayangi dan bisa membahagiakan ibuku." Malam itu, untuk pertama kalinya, Fikri menengadahkan tangan dan berdoa sambil menahan tangis. Ia tak tahu apakah Allah mendengar, tapi hatinya terasa lebih ringan.
Keesokan harinya, Fikri mendapati seikat roti di depan pintu rumahnya. Di atasnya tertulis: "Terima kasih sudah membersihkan halaman mushola semalam. --Kakek Mushola." Fikri tersenyum. Itu pertama kalinya ia merasa dihargai.
Hari-hari berikutnya, Fikri mulai berubah. Ia membantu membersihkan mushola, menuntun anak kecil pulang dari TPA, bahkan mulai belajar mengaji dengan serius. Orang-orang terkejut, tapi tak sedikit yang mulai menyapanya dengan ramah. Ibunya pun mulai tersenyum saat melihat perubahan anaknya.
Suatu hari, ibunya pulang lebih cepat dan menemukan Fikri sedang salat maghrib di kamar, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia memeluk anaknya sambil menangis. "Nak, Ibu sayang kamu, selalu. Terima kasih sudah berubah," bisiknya.
Fikri memeluk ibunya erat. Dalam hati, ia berdoa lagi, "Ya Allah, terima kasih sudah mendengar doa anak nakal seperti aku." Dan sejak hari itu, meski tetap suka bercanda dan usil, Fikri tumbuh menjadi anak yang penuh kasih, karena ia tahu: setiap doa, bahkan dari anak nakal sekalipun, bisa mengubah takdir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI