Sinar sang fajar tampak di ufuk barat, pagi-pagi sekali terlihat seorang pria mulai bersiap, lantas bergegas menuju tempat Ia mencari sesuap nasi. Dengan menggunakan sepeda anginnya, Ia bersemangat menyusuri jalan setapak-demi setapak hingga sampai tujuan, sengatan terik tak sedikitpun menurunkan dorongan kakinya, walaupun sedikit terengah.
Pria sahaja itu bernama Ali, bahkan pada suatu kesempatan, tidak ada rasa gengsi dan jaim sedikitpun. Tatkala ketahuan hanya mengenakan sendal jepit saat menghadiri acara kondangan, justru canda tawa merekah saat seorang karib menyentil gaya konyolnya itu.
Ulasan kisah Ali tersebut, merupakan cerminan baik akan pentingnya pembiasaan akan pola hidup yang mengetengahkan kesederhanaan setiap menjalani kehidupan keseharian. Dalam pemaknaan lain, lebih sporadis daripada menerapkan pola hidup sederhana, biasa disebut sebagai frugal living.
Tak banyak kalangan muda saat ini mulai melirik dan mempertimbangkan gaya hidup frugal living ini. Frugal, bukan berarti memangkas secara ekstrim terhadap kebutuhan mendasar bersifat primer, sehingga berkorelasi akan terhambatnya mobilitas sosial.
Perihal Kultur atau Pola Sistemik?
Tidak dipungkiri, cost social yang tinggi memang ada kalanya membelenggu individu secara personal, atau bisa saja menjerembab kelompok atau kalangan tertentu. Mengakibatkan terseret ke pusaran gaya dan pola hidup konsumtif menjurus pada kontraproduktif.
Tren Fear Off Missing Out (FOMO) sudah menjadi hal lumrah bagi netizen, mulai dari generasi muda sampai generasi tua. Timbulnya rasa khawatir akan tidak mengikuti sesuatu tren tertentu pada suatu kesempatan, menjadi permasalahan pokok tersendiri, baik itu terhadap sesuatu sifatnya tidak bergerak. Seperti hal-nya barang-barang dengan label branded, ataupun ketertarikan akan kebiasaan hidup tengah digandrungi masyarakat khalayak ramai.
Dari aspek harfiah, lembaga publik secara prinsip menggunakan anggaran yang bersumber dari dana publik, sebagian besar dipungut dari instrumen fiskal berupa pajak, yang mana secara corak kelembagaan lebih mengutamakan pelayanan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, daripada mencari sebesar-besarnya keuntungan berupa laba. Maka, serupiah pun akan dipertanggungjawabkan kepada publik dengan transparansi penggunaan anggaran yang akuntabel.
Telah teramat banyak tersiar kabar, bahwasanya, tidak sedikit pula para motor penggerak lembaga publik tengah kedapatan terjerat kasus penyelewengan penggunaan anggaran publik tidak sesuai ketentuan. Ditangkap atas kasus korupsi dan disorot media, tak ubahnya seperti mimpi di siang bolong bagi mereka.
Nyatanya, penindakan terhadap pelaku pengerat uang rakyat tidak pandang bulu, dari pemegang jabatan tertinggi di Kementerian/Lembaga di pemerintah pusat, tidak terkecuali selevel Kepala Desa di pemerintah daerah.
Secara kuantitatif, kendati Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) Nasional menunjukkan tren positif. Pada tahun 2024 berada pada skor 37/100 dan menempati urutan 99 dari 180 negara (mengalami peningkatan 16 strip) pada tahun sebelumnya berada pada skor 34/100, menempati urutan 115 dari 180 negara yang diukur.
Paling kentara diukur, adalah dari kinerja Operasi Tangkap Tangan, hanya 31 berhasil dilancarkan pada tahun 2024, bisa dibilang mengalami penurunan selama kepemimpinan sebelumnya. Angka-angka di atas, kiranya tidak serta merta dijadikan tolok ukur dalam menilai efektifitas kinerja pemberantasan korupsi.