Mohon tunggu...
Riza Fabian
Riza Fabian Mohon Tunggu... NIM : 43225010067 (Universitas Mercu Buana)

43225010067 - S1 Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.A

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus 5 Tokoh Pentingnya Berpikir Positif Tentang Kehidupan

17 Oktober 2025   01:21 Diperbarui: 17 Oktober 2025   08:24 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari tantangan, tekanan, dan perubahan yang sering kali datang tanpa diduga. Di tengah dinamika itu, kemampuan untuk berpikir positif menjadi salah satu kekuatan batin yang menentukan bagaimana seseorang mampu bertahan dan berkembang. Berpikir positif bukan hanya soal optimisme kosong, tetapi tentang kemampuan mengelola pikiran secara rasional, tenang, dan bijaksana dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan.

Sejarah pemikiran manusia menunjukkan bahwa gagasan mengenai kekuatan pikiran dan sikap batin telah lama dibahas oleh para filsuf dan psikolog besar. Dari masa Romawi kuno hingga zaman modern, Lima tokoh penting yang menjadi fokus kajian ini - Marcus Aurelius, Epictetus, Friedrich Nietzsche, William James, dan Albert Ellis - masing masing memberikan pandangan berbeda namun saling melengkapi tentang makna berpikir positif.

Marcus Aurelius dan Epictetus, melalui ajaran Stoikisme, menekankan pentingnya kendali diri dan penerimaan terhadap hal-hal yang tidak bisa diubah. Nietzsche membawa semangat baru dengan mengajak manusia untuk mencintai kehidupan secara utuh melalui konsep Amor Fati. William James kemudia melanjutkan gagasan tersebut ke ranah pragmatisme dengan keyakinan bahwa kepercayaan positif dapat menciptakan kenyataan yang lebih baik. Di era modern, Albert Ellis menerjemahkan semangat itu dalam bentuk terapi rasional yang membantu manusia berpikir lebih sehat dan realistis.

Kajian terhadap lima tokoh ini penting karena mengajarkan bahwa berpikir positif bukan sekadar sikap otimis, tetapi juga proses sadar untuk mengelola pikiran dan emosi agar selaras dengan kenyataan. Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh tekanan seperti saat ini, nilai-nilai yang diajarkan para tokoh tersebut menjadi relevan sebagai panduan dalam menjaga keseimbangan batin, membangun ketahanan mental, serta menumbuhkan kebijaksanaan dalam bertindak.

Dalam memahami diskursus dari kelima tokoh ini, kita dapat melihat bagaimana konsep berpikir positif berevolusi dari sekadar ajaran moral menjadi landasan filosofis dan psikologis yang nyata. Mereka tidak hanya berbicara tentang bagaimana berpikir positif, tetapi juga menunjukkan mengapa berpikir positif menjadi kebutuhan penting bagi manusia modern yang ingin hidup dengan tenang, sadar, dan bermakna.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Marcus Aurelius (121-180 M) - FIlsuf Kaum STOA

Marcus Aurelius dikenal sebagai salah satu filsuf besar dari aliran Stoikisme sekaligus Kaisar Romawi yang bijaksana. Pemikiran utamanya menekankan bahwa manusia tidak memiliki kendali atas peristiwa yang terjadi di luar dirinya, tetapi selalu memiliki kuasa untuk mengatur cara bepikir dan cara merespons setiap kejadian. Dengan pikiran yang jernih, logis, dan positif, seseorang dapat menemukan ketenangan batin yang sejati.

Menurut Marcus, penderitaan bukan muncul karena peristiwa itu sendiri, melainkan karena cara kita menilai peristiwa tersebut. Ketika seseorang terbiasa menafsirkan segala hal secara negatif, maka ia akan terjebak dalam emosi yang merugikan. Sebaliknya, jika pikiran dilatih untuk bersikap rasional dan tenang, maka kehidupan akan terasa lebih damai dan terkendali. Dalam pandangannya, pikiran yang tertata baik adalah sumber utama kebahagiaan sejati (eudaimonia).

Ia pernah menulis sebuah kalimat yang kemudian menjadi sangat terkenal:

"You have power over your mind - not outside evets. Realize this, and you will find strength."
(Kamu memiliki kuasa atas pikiranmu, bukan atas peristiwa di luar dirimu. Sadari hal ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.)

ketenangan dan kebahagiaan tidak ditentukan oleh situasi, melainkan oleh kemampuan kita mengelola pikiran. Saat seseorang mampu menjaga pikirannya tetap tenang dan rasional, maka tidak ada peristiwa eksternal yang bisa benar-benar menggoyahkan dirinya.


Dalam konteks  berpikir positif, ajaran Marcus Aurelius mengingatkan bahwa berpikir positif bukan berarti menutup mata dari kenyataan dengan tenang dan memilih untuk memilih sisi rasional serta konstruktif dari setiap situasi.

Dengan cara pandang seperti ini, seseorang tidak mudah dikuasai amarah, kekhawatiran, atau kekecewaan. Mampu menjaga keseimbangan emosinya, bahkan ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Prinsip Marcus Aurelius mengajarkan bahwa ketenangan batin bukanlah hadiah dari keadaan luar, melainkan hasil dari disiplin berpikir yang konsisten di dalam diri.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Contoh penerapan ajaran Marcus Aurelius dalam kehidupan

Marcus Aurelius bukan hanya dikenal karena pemikirannya yang mendalam secara filosofis, tetapi juga karena ajarannya yang bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Salah satu prinsip penting yang ia tekankan adalah kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tanggapan terhadap berbagai situasi, daripada berusaha mengubah hal-hal yang berada di luar kekuasaan kita. Dalam kehidupan masa kini, pemikiran ini sangat relevan - baik ketika menghadapi tekanan di dunia kerja, maupun saat berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosial.

Contoh Kasus: Orang Marah-Marah di Jalan Raya

Dalam situasi seperti ini, langkah paling bijak adalah menjaga ketenangan dan tidak terpancing untuk membalas amarah. Dengan menerapkan pola pikir positif, seseorang dapat mencoba melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang yang lebih luas - misalnya dengan berasumsi bahwa pengendara itu mungkin sedang terburu-buru, lelah, atau sedang menghadapi masalah pribadi. Pendekatan yang empatik dan rasional semacam ini membantu menenangkan diri, mencegah reaksi berlebihan, serta menghindarkan dari pertikaian yang tidak perlu.

Refleksi singkat

Dari peristiwa tersebut dapat diambil pelajaran bahwa ajaran berpikir positif menurut Marcus Aurelius menekankan pentingnya ketenangan batin melalui pengendalian diri. Dengan memilih untuk tidak membalas perbuatan buruk dengan tindakan serupa, seseorang sedang melatih kesabaran sekaligus menumbuhkan kebijaksanaan dalam dirinya. Seperti yang pernah diungkapkan Marcus Aurelius dalam salah satu kutipannya yang terkenal:

"The best revenge is to be unlike your enemy"
(Balas dendam terbaik adalah tidak menjadi seperti orang yang berbuat buruk kepada kita.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Marcus Aurelius Dengan Metode Conversio

Marcus Aurelius, salah satu tokoh penting dalam filsafat Stoikisme, meyakini bahwa ketenangan batin sejati tidak bersumber dari perubahan keadaan di luar diri, melainkan dari kemampuan seseorang dalam mengelola pikiran dan perasaannya ketika menghadapi realitas hidup. Ia memperkenalkan sebuah gagasan mendalam yang disebut Conversio - sebuah proses refleksi diri yang membantu manusia menemukan kedamaian melalui sikap penerimaan dan perubahan batin yang lebih bijak.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Conversio dalam Pemikiran Marcus Aurelius

Dalam pandangan filsafat Stoikisme, Conversio dipahami sebagai perubahan arah batin manusia - sebuah proses beralihnya cara pandang dari reaksi negatif terhadap dunia luar menuju penerimaan dan ketenangan dalam diri. Marcus Aurelius menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada kesadaran di luar diri, melainkan pada cara seseorang menilai dan merespons peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Dalam Meditations, Marcus Aurelius menulis:
"if you are distressed by anything external, the pain is not due to the thing itself, but to your estimate of it; and this you have the powers to revoke at any moment."
(Jika kamu terganggu oleh sesuatu dari luar, penderitaan itu bukan disebabkan oleh hal tersebut, melainkan oleh penilaianmu terhadapnya; dan kamu memiliki kekuasaan untuk mengubahnya kapan pun.)

Contoh kasus: Penerapan Conversio dalam kehidupan sehari-hari

Contoh sederhana penerapan ajaran Marcus Aurelius dapat dilihat saat seseorang menghadapi situasi tidak menyenangkan di jalan raya. Misalnya, ketika ada pengendara lain yang tiba-tiba menyalip dengan kasar dan memiliki tanpa alasan. Reaksi spontan tentu bisa berupa marah atau tersinggung, namun dengan menerapkan prinsip Conversio, kita belajar menahan diri dan melihat situasi secara rasional.

Kita mungkin tidak bisa mengubah perilaku orang lain, tetapi kita sepenuhnya berkuasa atas cara berpikir dan sikap kita. Dengan memilih tetap tenang, emosi mereda, suasana hati lebih stabil, dan konflik pun dapat dihindari. Inilah makna Conversio - perubahan batin dari kemarahan menuju kedamaian melalui kendali pikiran yang positif.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Metode latihan [Askesis]: Memisahkan Dua Hal antara Fortuna dan Virtue

Dalam Stoikisme, Askesis berasal dari kata Yunani yang berarti "latihan" atau "disiplin diri". Konsep ini mengajarkan latihan mental dan spiritual untuk membentuk pikiran yang tenang, rasional, dan bijak dalam menghadapi berbagai keadaan hidup. Pokok ajarannya terletak pada kemampuan untuk membedakan dua aspek utama yang memengaruhi kehidupan manusia:

Fortuna, yaitu segala sesuatu yang berada di luar kendali kita, seperti nasib, pendapat orang lain, kondisi cuaca, penyakit, hingga kematian. Hal-hal ini bersifat eksternal dan tidak bisa diatur sepenuhnya oleh manusia.

Virtue, yaitu hal-hal yang dapat kita kendalikan, seperti pikiran, sikap, dan tindakan moral.

Bagi penganut Stoikisme, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada Fortuna, melainkan pada kemampuan menjaga Virtue dengan konsisten dalam setiap keadaan.

Dalam Meditations, Marcus Aurelius menulis:
"The mind must stand straight, not be held straight by others."
(Pikiran harus berdiri tegak sendiri, hukum disangga oleh hal-hal dari luar.)

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Memisahkan Dua Hal: Fortuna dan Virtune

Dalam ajaran Stoikisme, Marcus Aurelius menekankan pentingnya kemampuan membedakan antara hal-hal yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan.

1. Fortuna (Nasib /Hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan)
Fortuna mencakup segala sesuatu yang datang dari luar diri, seperti cuaca, opini orang lain, penyakit, atau kematian. Semua hal ini bersifat tidak pasti dan berada di luar kendali manusia, sehingga yang terbaik adalah menerimanya dengan tenang.

2. Virtue (Kebajikan / Hal-hal yang dapat kita kendalikan)
Virtue berkaitan dengan hal-hal yang sepenuhnya berada dibawah kendali kita - seperti pikiran, sikap, reaksi, dan tindakan moral. Menurut Marcus Aurelius, disinilah letak kekuatan dan kebahagiaan sejati manusia.


Melalui Askesis, seseorang belajar untuk fokus para Virtue dan menerima Fortuna dengan lapang dada, sehingga hidup menjadi lebih damai dan seimbang.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Contoh kasus: Penerapan dalam kehidupan

Kisah seorang pegawai yang bekerja keras namun gagal mendapatkan promosi karena keputusan atasan yang memihak orang lain adalah contoh nyata benturan antara harapan dan realita. Dalam filsafat STOA, situasi ini mengajarkan tentang pemisahan antara Fortuna (Nasib) dan Virtue (Kebajikan).

Penerapan Stoikisme mendorong kita untuk tidak larut dalam amarah atau kekecewaan atas hal yang tak bisa diubah (Fortuna). Alih-alih, fokus diarahkan pada komitmen untuk terus berbuat yang terbaik (Virtue). Inilah yang disebut askesis yaitu kesadaran dan pengendalian diri. Dengan mempraktikkannya, seseorang bisa tetap tenang, bermartabat, dan tidak kehilangan arah batin di tengah ketidakpastian hidup.

Seperti kata Marcus Aurelius:

"Waste no more time arguing what a good man should be. Be one."
(Jangan buang waktu berdebat tentang seperti apa orang baik itu. Jadilah orang baik.)

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Kemampuan Membedakan antara Emosi dan Sensasi

Untuk mencapai ketenangan batin, penting memahami perbedaan fundamental antara Emosi dan Sensasi.

Emosi, yaitu reaksi psikologis yang muncul setelah kita memproses dan menilai sensasi tersebut secara mental (Sebagai suatu judgment atau penilaian).

sementara Sensasi adalah respons fisik awal tubuh terhadap stimulus eksternal- reaksi alami, spontan, dan netral yang tidak melibatkan penilaian mental.

Dalam Meditations, Marcus Aurelius:
"If you are troubled by anything external, it is not the thing itself that disturbs you, but your judgment about it."
(Jika kamu terganggu oleh sesuatu dari luar, yang mengganggumu bukanlah hal itu sendiri, tetapi penilaianmu terhadapnya.)

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Kemampuan membedakan antara sensansi dan emosi

Para filsuf STOA seperti Marcus Aurelius dan Epictetus menekankan pentingnya membedakan antara dua jenis pengalaman batin: Sensasi (Aisthesis) dan Emosi (Pathos). Perbedaan ini adalah kunci untuk hidup yang terkendali.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Epictetus (50-135 M) - Filsuf Stoik Yunani

* Latar belakang

Epictetus (50-135 M) adalah salah satu filsuf Stoa Yunani yang paling berpengaruh. Ia memiliki latar belakang yang unik, lahir sebagai budak di Hierapolis, Frigia, sebelum kemudia menjadi figur sentral dalam Stoikisme. Meskipun ia sendiri tidak menuliskan ajarannya, pemikirannya diabadikan oleh muridnya, Arrian, dalam karya "The Discourses (Percakapan)" dan "The Enchiridion (Buku Pegangan).

* Pemikiran Utama

Epictetus berpendapat bahwa penderitaan dan kebahagiaan manusia tidak ditentukan oleh keadaan eksternal, melainkan cara kita memandang dan menilai keadaan tersebut.

- Hal yang berada dalam kendali kita (Things within our control)
mencakup pemikiran, penilaian, dan  tindakan kita sendiri.

- Hal yang tidak berada dalam kendali kita (Things outside our control)
Meliputi tubuh, reputasi, kekayaan, cuaca, dan opini orang lain.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Kutipan terkenal Epictetus (50-135 M)
"It's not what happens to you, but how you react toit that matters."
(Bukan apa yang terjadi padamu yang penting, tetapi bagaimana kamu bereaksi terhadapnya.)

Kutipan ini menegaskan bahwa kebebasan batin dan penderitaan kita terletak pada kendali diri kita. Peristiwa eksternal, betapa pun buruknya, tidak memiliki kekuatan untuk menyebabkan kita menderita kecuali kita mengizinkannya dengan memberikan penilaian yang negatif.

Ajaran Epictetus menawarkan panduan yang sangat relevan untuk menghadapi kehidupan modern yang sarat tekanan, kompetisi, dan ketidakpastian. Ia mengajarkan kita untuk:

- Mengutamakan perspektif positif
- Menghindari reaksi berlebihan
- Mempertahankan kebebasan batin

Dengan mengaplikasikan prinsip ini, kita dapat menjadi pengendali nasib emosional kita sendiri.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Epictetus (50-135 M) - Filsuf Stoik Yunani

Epictetus, filsuf Stoa Yunani, mengajarkan sebuah prinsip fundamental: kebahagiaan bukanlah hasil dari keadaan eksternal, melainkan dari disiplin pikiran.

Prinsip ini sangat berguna saat menghadapi kekecewaan, seperti kasus seorang karyawan yang gagal mendapatkan promosi jabatan yang diharapkan.

- Reaksi Umum : Karyawan mungkin akan merasa kecewa, iri, menyalahkan atasan, atau kehilangan semangat kerja - semua dalah reaksi emosiona; yang tidak produktif.

- Reaksi Stoa (Menurut Epictetus) : Karyawan memilih untuk berpikir positif dan rasional, menyatakan "Saya memang tidak bisa mengendalikan keputusan atasan, tetapi saya bisa mengendalikan cara saya bekerja dan memperbaiki diri."

Dengan menerima apa yang tidak bisa diubah dan berfokus pada yang bisa diubah, kita dapat menerima kehidupan dengan lapang dada dan tetap berpikir positif.

Epictetus menyimpulkan:
"No man is free who is not master of himself.)
(Tidak ada manusia yang benar-benar bebas kecuali ia mampu menguasai dirinya sendiri.)

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Friedrich Nietzsche (1844-1900)

1. Pengertian "The Will to Power"

Salah satu gagasan utama dalam pemikiran Friedrich Nietzsche adalah konsep yang disebut "The Will to Power (Der Wille zur Macht). Namun, ide ini tidak hanya dimaknai sebagai keinginan untuk menguasai secara politik atau fisik. The Will to Power merujuk pada dorongan mendasar dalam diri makhluk hidup untuk bertumbuh, mencipta, dan mempertahankan keberadaannya.

Friedrich Nietzsche melihat bahwa setiap makhluk hidup digerakkan oleh suatu kekuatan hidup yang membuat mereka:
- Berusaha mengatasi kekurangan atau kelemahan.
- Melampaui batas-batas kemampuan diri.
- Menciptakan makna dalam kehidupan yang sebenarnya tidak memiliki arti yang tetap.


Dari sudut pandang ini, The Will to Power merupakan tenaga positif kehidupan, yang menjadi sumber munculnya kreativitas, keberanian, serta kebebasan dalam diri manusia.

2. "Ja Sagen" - Menyatakan "Ya" pada kehidupan

Dari gagasan tentang The Will to Power, Friedrich Nietzsche melahirkan sikap yang ia sebut Ja Sagen, istilah dalam bahas Jerman yang berarti "Mengiyakan" atau menyetujui kehidupan.

Sikap ini merupakan bentuk penerimaan menyeluruh terhadap hidup, termasuk segala penderitaan, kesalahan, dan kegagalan, tanpa menolaknya atau memisahkannya secara kaku menjadi hal baik dan buruk.

Sebaliknya, Friedrich Nietzsche mendorong manusia untuk:
- Menerima kehidupan apa adanya (Bejahung des Lebens)
- Tidak hanya menyukai bagian yang menyenangkan, tapi juga merangkul hal-hal yang sulit
- Menemukan nilai hidup dengan mengatakan "ya" pada seluruh pengalaman - suka maupun duka.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Hubungan dengan "Amor Fati"

Konsep "Amor Fati" yang dipopulerkan oleh Nietzsche berasal dari "Ja Sagen" bukan sekadar ajakan untuk pasrah menerima nasib. Lebih dari itu, ia merupakan bentuk cinta tertinggi yang menuntut kita untuk mencintai setiap bagian kehidupan - termasuk penderitaan, kesedihan, dan kesulitan - sebagai sesuatu yang esensial, indah, dan bermakna.

"Amor Fati: may this be my love! ...  Not merely to bear what is necessary, still less to conceal it - but to love it."
(Amor Fati: semoga inilah cintaku! ... Bukan hanya menanggung apa yang perlu, apalagi menyembunyikannya, tetapi setia untuk mencintainya.)

- Hubungan dengan Pemikiran Demokritos

Konsep ini memiliki resonansi dengan pandangan filsuf Demokritos tentang atom (a-tom: tidak terbagi). Sebagaimana atom tidak bisa dipecah, Nietzsche menolak pembagian moral tradisional (baik dan buruk) dan menegaskan bahwa kehidupan harus diterima sebagai satu kesatuan utuh - sebuah realitas tunggal yang mencakup suka dan duka tanpa terpisahkan.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Contoh Penerapan Konsep "Ja Sagen" dan "Amor Fati"

Sikap "Ja Sagen" dan "Amor Fati"

Sebaliknya, individu yang menjalani hidup dengan afirmasi penuh (Ja Sagen) dan memiliki kecintaan pada nasib (Amor Fati) akan memiliki respons yang sama sekali berbeda terhadap keadaan tersebut. 

Ia berkata dalam hati:
"Ini bagian dari perjalanan hidupku. Aku akan mencintai pengalaman ini sebagaimana aku mencintai keberhasilanku. Dari sini aku akan belajar dan bangkit."

kesimpulan "The Will to Power", "Ja Sagen", dan "Amor Fati"

Ketiga pilar pemikiran Nietzsche - The Will to Power (kehendak untuk berkuasa), Ja Sagen (Afirmasi Hidup). dan  Amor Fati (Cinta pada takdir) - bekerja secara sinergis, menciptakan sebuah filosofi hidup yang sangat memberdayakan dan optimis.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

William James (1842-1910) - Filsuf dan Psikolog Amerika

William James (1842-1910), seorang filsuf dan psikolog Amerika, menawarkan sebuah pemikiran yang radikal, berbeda dari penerimaan nasib dalam Stoikisme atau Amor Fati Nietzsche.

Teori James adalah sebuah "Ledakan Epistemologis" - sebuah gagasan yang menempatkan keyakinan dan iman sebagai kekuatan yang mendahului bukti, di mana keyakinan tersebut berpotensi menciptakan fakta.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

William James: Keberanian untuk Percaya Sebelum Ada Bukti

Di tengah tuntutan dunia yang selalu meminta bukti sebelum adanya keyakinan, William James (1842-1910) muncul dengan pemikiran yang memberontak: keberanian untuk percaya sebelum bukti itu terwujud.

James menyatakan: "Percayalah bahwa hidup ini layak dijalani, dan keyakinanmu akan membantu mewujudkan kenyataan itu."

The Will to Believe: manusia tidak perlu menunggu kepastian absolut untuk bertindak. Justru, dengan berani bertindak tanpa kepastian, dunia akan mulai berubah. Kita tidak hidup dengan menunggu bukti - kita hidup dengan menciptakan bukti.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Melampaui Batas: William James dan Keberanian Membangun Badai Sendiri

William James tidak hanya meminta kita untuk menerima (Stoa) atau mencinta (Nietzsche) kesulitan hidup. Sebaliknya, ia mendorong: "Bangun badai/perubahanmu sendiri."

Mari kita bayangkan seseorang yang kehilangan pekerjaan dan harapan:
- Stoik akan berkata "Terimalah kondisi ini dengan tenang dan lapang dada"
- Nietzsche akan berkata "Cintailah penderitaan ini, karena ia bagian dari hidup."
- William James akan berbisik: "Percayalah dulu bahwa hidupmu masih berarti - dan lihat bagaimana keyakinan itu mulai menciptakan makna yang baru."


William James mengajarkan bahwa keajaiban datang bukan dari apa yang menimpa kita dari luar, tetapi dari sesuatu yang kita bangun dari dalam. Hidup, katanya, selalu menunggu satu keputusan paling berani dari manusia: Untuk percaya - bahkan sebelum semua bukti tersedia. 

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

William James: Realitas yang Diciptakan oleh Keyakinan

William James mengajarkan bahwa keyakinan memiliki daya kausal - ia bukan sekadar ilusi psikologis, melainkan kekuatan yang memengaruhi perilaku, keputusan, dan bahkan proses biologis seseorang.


Ilustrasi nyata:

Ambil contoh dua pasian dengan penyakit yang sama. Pasien pertama berkata "Saya tidak akan sembuh" sementara yang kedua menyatakan "Saya bisa sembuh." Secara medis, kondisi awal mereka identik, namun hasil akhir kesembuhan mereka sangat mungkin berbeda.


Dalam kerangka William James: Kepercayaan bukanlah hasil dari kesembuhan; kepercayaan adalah bagian integral dari proses penyembuhan itu sendiri.

 

Inti pesan William James:

James tidak mengajak pada kepasrahan atau mencintai penderitaan. Sebaliknya, ia menantang kita untuk mengubah kemungkinan menjadi kenyataan melalui kekuatan keyakinan.

Filosofi keberaniannya dapat disarikan dalam pernyataan tajam ini:
"Kamu tidak menunggu hidup menjadi baik baru percaya - kamu percaya dulu, dan barulah hidup mulai menjadi baik."

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Albert Ellis dan Model ABC: Pikiran adalah Pencipta Perasaan

Albert Ellis (1913-2007), seorang filsuf dan psikolog modern, merumuskan model sederhan namun mendalam yang dikenaal sebagai model ABC untuk menjelaskan emosi manusia:

- A (Activating Event): Peristiwa yang terjadi
- B (Belief): Keyakinan atau pikiran kita tentang peristiwa itu
- C (Consequence): Hasil emosional dan perilaku yang muncul

Banyak orang secara keliru beranggapan bahwa A secara langsung menyebabkan C (Peristiwa menyebabkan perasaan). Padahal, penentu sebenarnya dari reaksi kita (C) adalah B - cara kita berpikir mengenai peristiwa tersebut.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Rasionalitas Ellis: Mengoreksi Pikiran, Mengubah Realitas Batin

Menurut Albert Ellis, sumber utama penderitaan emosional manusia adalah pikiran irasional - yakni keyakinan yang tidak realistis, berlebihan, atau mengandung tuntutan kaku ("Saya harus selalu disukai!","Hidup harus adil!").


Ellis mengajarkan bahwa berpikir rasional dan positif bukanlah ilusi, melainkan tindakan mengoreksi cara berpikir yang salah agar selaras dengan kenyataan. Inti dari terapi ini (Positive thinking therapy yang melandasi CBT) adalah: dengan mengubah pemikiran keliru, perasaan pun ikut berubah - dari cemas menjadi tenang, dari marah menjadi bijak.

Contoh kasus di kehidupan nyata

Seorang individu gagal dalam wawancara kerja.

Pikiran irasional: "Saya benar-benar gagal total, hidup saya hancur." (Menyebabkan putus asa, rendah diri).

Koreksi rasional: "Saya gagal hari ini, tapi itu tidak berarti saya gagal selamanya. Saya bisa belajar dan memperbaiki diri." (Menyebabkan termotivasi, tenang).


Peristiwa eksternal (Kegagalan wawancara) tetap sama, tetapi realitas batin individu tersebut berubah, yang kemudian membuka peluang untuk tindakan baru yang lebih konstruktif.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Albert Ellis: Arsitek Emosi dan Tanggung jawab Intelektual


Pemikiran Albert Ellis membawa pergeseran fokus dari dunia luar ke dunia batin. Meskipun sejalan dengan Stoa (Kendali diri) dan Nietzsche (Afirmasi hidup), Ellis menegaskan kekuatan logika dan kesadaran rasional sebagai pembentuk utama emosi.


Ellis menekankan bahwa memilih untuk berpikir sehat bukanlah ilusi, melainkan tanggung jawab intelektual kita.

Kesimpulan Filosofi:

Albert Ellis mengajarkan bahwa pikiran adalah arsitek emosi. Kita bukanlah korban pasif dari peristiwa yang menimpa, melainkan penafsir aktif dari peristiwa tersebut.

dengan menguasai pemikiran rasional, kita mengendalikan perasaaan dan pada akhirnya, mengubah hidup kita.

seperti yang disimpulkan:
"Menjadi bahagia bukan soal menemukan dunia yang sempurna, tetapi soal belajar berpikir dengan cara yang lebih sehat tentang dunia yang tidak sempurna."

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Matriks Lima Tokoh Pemikir Berpikir Positif

Lima tokoh besar dari Stoikisme hingga psikologi modern menawarkan prinsip-prinsip ini:

- Marcus Aurelius mengajarkan bahwa kebahagiaan lahir dari menguasai pikiran dan reaksi kita, bukan dari menunggu peristiwa luar berpihak.
- Epictetus memperkuat hal ini dengan menyatakan bahwa penderitaan berasal dari penilaian emosional kita terhadap peristiwa, bukan dari peristiwa itu sendiri.
- Friedrich Nietzsche melangkah lebih jauh dengan konsep Amor Fati (mencintai takdir). Ia mendorong afirmasi total pada seluruh aspek kehidupan (Ja Sagen), bahkan penderitaan, sebagai bagian esensial dari keberadaan.
- William James membawa pemikiran radikal dari Pragmatisme: keyakinan memiliki daya kausal yang mampu menciptakan realitas.
-Albert Ellis (REBT) mengajarkan bahwa pikiran adalah arsitek emosi. Dengan mengganti keyakinan irasional menjadi rasional, seseorang mengambil tanggung jawab intelektual atas kondisi emosionalnya dan mengubah perilakunya menjadi lebih sehat.

Sumber : Modul Prof Apollo
Sumber : Modul Prof Apollo

Simpulan Benang Merah Evolusi Pemikiran Positif

1. Stoikisme (Epictetus, Marcus Aurelius)
Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada keadaan eksternal, melainkan pada kendali batin kita.
- Pemisahan Kendali
- Sensasi vs Emosi

2. Eksistensialisme (Nietzsche)

Eksistensialisme melalui Friedrich Nietzsche membawa Stoikisme ke tingkat yang lebih aktif. Ia tidak hanya menyarankan penerimaan, tetapi juga Afirmasi penuh (Ja Segan), yaitu Amor Fati (Mencintai takdir). Ini adalah keberanian untuk mencintai seluruh kehidupan, termasuk semua penderitaan dan kesulitan, sebagai kesatuan yang indah dan bermakna.

3. Pragmatisme (William James)

Filosofi beralih dari penerimaan menjadi penciptaan melalui Pragmatisme William James. James menantang gagasan bahwa kita harus menunggu bukti untuk percaya. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa keyakinan adalah daya kausal yang mampu menciptakan fakta. 

4. Psikologi Modern (Albert Ellis)

Psikologi Modern (REBT) oleh Albert Ellis mengkonkretkan prinsip-prinsip ini menjadi kerangka terapeutik yang praktis. Ellis mengajarkan bahwa pikiran adalah arsitek emosi. Dengan mengganti keyakinan irasional menjadi pikiran rasional, kita dapat seccara langsung mengubah emosi negatif dan mencapai kesejahteraan psikologis.

Kesimpulan: 

Evolusi pemikiran positif mengajarkan bahwa kita bukanlah korban pasif peristiwa, melainkan penafsir aktif dan pencipta realitas batin. Kekuatan untuk hidup tenang, bebas, dan otentik selalu berada dalam kendali kita: di dalam pilihan cara kita berpikir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun