Marcus Aurelius pernah menulis:
"Jika seseorang berbuat salah, itu karena ia tidak tahu lebih baik. Maafkan dan bantu ia belajar."
(Manampiring, 2018, hlm. 89)
Pesan ini relevan sekali. Alih-alih ikut terbawa arus menghujat, kita bisa memilih sikap tenang, reflektif, dan empatik. Komunikasi publik yang sehat tidak dibangun dari reaksi emosional, tetapi dari kesadaran bahwa manusia bisa belajar dari kesalahan.
Mahasiswa dan Tantangan Eksistensi
Sebagai mahasiswa, kita berada di tahap hidup yang penuh perubahan: mencari jati diri, masa depan, dan makna. Tekanan akademik, ekonomi, dan sosial sering kali memunculkan krisis eksistensi --- apakah aku cukup? apakah aku di jalur yang benar?
Stoikisme memberikan perspektif menenangkan:
"Jangan berharap hidup menjadi lebih mudah; berharaplah agar kamu menjadi lebih kuat."
(Manampiring, 2018, hlm. 93)
Filosofi ini menegaskan bahwa penderitaan tidak harus dihindari, tapi bisa dijadikan latihan mental untuk memperkuat karakter.
Dalam konteks komunikasi, hal ini mirip dengan kemampuan self-presentation dan resilience --- dua keterampilan penting di era digital yang penuh tekanan sosial. Stoikisme mengajarkan bahwa karakter sejati diuji bukan ketika segalanya lancar, tapi ketika kita tetap tenang saat badai datang.
Relevansi untuk Komunikasi Digital
Menariknya, prinsip Stoikisme bisa diterapkan dalam teori komunikasi modern, terutama dalam pengelolaan pesan dan noise (gangguan komunikasi).