Mohon tunggu...
Rivaldi Pasya
Rivaldi Pasya Mohon Tunggu... Mahasiswa UNIKOM

Hey Kompasianer! Saya adalah mahasiswa tingkat 3,Jurusan Ilmu Komunikasi,Di Universitas Komputer Indonesia yang berlokasi di jalan.dipatiukur Kota Bandung Saya masih awal dan awam dalam bidang penulisan ini,jadi,saya sangat menerima masukan yang membangun dan kritis bilamana terdapat kekeliruan dalam tulisan-tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Book

Belajar Tenang di Tengah Kegaduhan Digital:Refleksi Stoikisme dari Buku Filosofi Teras.

5 Oktober 2025   20:07 Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:07 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Artinya, komentar buruk di internet tidak akan melukai kita jika kita tidak memberi makna negatif padanya. Luka itu datang bukan dari kata-kata orang lain, tapi dari cara kita menafsirkannya.

Di sinilah relevansi besar Stoikisme di era media sosial:
Ketika ruang digital menjadi tempat pertarungan opini dan emosi, kemampuan untuk "mengambil jeda" sebelum bereaksi menjadi bentuk kebijaksanaan baru.

Sebagai mahasiswa komunikasi, saya belajar bahwa komunikasi sejati tidak hanya tentang menyampaikan pesan, tapi juga tentang mengatur respon terhadap pesan yang datang. Ini sejalan dengan prinsip Stoik bahwa kita tidak bisa mengontrol dunia, tapi kita bisa mengontrol diri kita.

"Meng-ghosting" Masalah

Dalam buku Filosofi Teras, Henry juga menulis bahwa ketenangan batin tidak datang dari menghindari masalah, melainkan dari sikap terhadap masalah.

Sering kali, ketika menghadapi tekanan akademik, tugas bertumpuk, atau konflik sosial, kita justru memperpanjang penderitaan dengan pikiran yang berputar-putar: "Kenapa aku gagal?", "Kenapa dosen tidak suka aku?", "Kenapa mereka lebih sukses?"

Padahal, seperti dijelaskan dalam Filosofi Teras, kebahagiaan sejati justru datang dari kemampuan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa diubah, dan berfokus memperbaiki hal-hal yang bisa diusahakan.

"Kebahagiaan sejati bukan karena keadaan baik, tapi karena sikap yang baik terhadap keadaan."
(Manampiring, 2018, hlm. 106)

Fenomena Cancel Culture dan Stoikisme

Fenomena cancel culture di media sosial menunjukkan bagaimana opini publik bisa berubah menjadi amarah massal. Sekali seseorang melakukan kesalahan, netizen seolah berlomba menghukum tanpa ampun.

Dalam perspektif Stoikisme, ini memperlihatkan bagaimana emosi kolektif yang tak terkendali bisa merusak kebijaksanaan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun