Stoikisme tidak mengajarkan untuk "menyerah", melainkan untuk bijak memilih pertempuran batin: mana yang pantas diperjuangkan, dan mana yang lebih baik dilepaskan.
Fenomena Overthinking dan Validasi Digital
Sebagai mahasiswa komunikasi, saya banyak mengamati bagaimana media sosial membentuk budaya validasi. Kita hidup di zaman ketika "aku ada karena aku dilihat". Banyak teman sebaya yang merasa nilainya ditentukan oleh seberapa sering mereka muncul di Instagram atau seberapa menarik tampilan feed-nya.
Hal ini menciptakan pola pikir external validation --- ketergantungan pada pengakuan dari luar diri.
Padahal, seperti kata Marcus Aurelius yang dikutip Manampiring:
"Ketenangan datang ketika kita berhenti berdebat tentang apa yang seharusnya dilakukan orang lain, dan mulai memperhatikan apa yang seharusnya kita lakukan sendiri."
(Manampiring, 2018, hlm. 77)
Stoikisme mengajarkan self-validation --- kemampuan untuk menilai diri berdasarkan nilai dan prinsip pribadi, bukan berdasarkan jumlah pengikut atau komentar.
Fenomena anxiety dan burnout di media sosial bisa dikurangi jika kita belajar, seperti para Stoik, untuk tidak meletakkan kebahagiaan pada hal yang tidak pasti.
Ketika Komentar Menjadi Luka: Belajar Emosi dari Stoik
Henry Manampiring mengingatkan bahwa Stoikisme bukan tentang menekan emosi, tapi mengelola emosi agar tidak memperbudak akal.
"Bukan peristiwa yang mengganggu kita, melainkan opini kita tentang peristiwa itu."
--- Epictetus, dikutip dalam Filosofi Teras (Manampiring, 2018, hlm. 84)