Data dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan lebih dari 7 jam per hari di depan layar, dan lebih dari separuhnya merasa "lelah secara mental" akibat paparan media sosial berlebihan.
Dalam konteks ini, Stoikisme bisa menjadi obat kesadaran --- semacam "vitamin mental" yang menolong kita untuk mengambil jarak dari hiruk-pikuk digital.
Mengendalikan Apa yang Bisa Dikuasai
Salah satu prinsip dasar Stoikisme adalah Dikotomi Kendali (The Dichotomy of Control). Henry Manampiring mengutip ajaran Epictetus:
"Sebagian hal berada dalam kendali kita, sebagian lagi tidak. Jika kita fokus pada hal yang berada di luar kendali, kita akan menjadi budak kehidupan."
(Manampiring, 2018, hlm. 42)
Jika diterjemahkan ke kehidupan digital, maknanya sangat dalam:
Kita tidak bisa mengontrol opini publik, tidak bisa mencegah semua orang menilai kita, atau mengatur algoritma media sosial. Tapi kita bisa mengontrol respon kita terhadap semua itu.
Misalnya, ketika seseorang mengomentari unggahan kita dengan nada sinis, kita bisa:
membalas dengan tenang,
mengabaikan,
atau sekadar tersenyum lalu lanjut hidup.
Reaksi yang kita pilih itulah yang menentukan kualitas batin kita --- bukan situasi eksternalnya.