Sebagaimana diberitakan Detik.com dalam artikel "630 Siswa SMAN 1 Cimarga Mogok Sekolah Imbas Kepsek Tampar Murid Merokok", para siswa menilai kepala sekolah mereka tegas namun adil.
Fenomena ini menunjukkan ada krisis persepsi publik tentang batas antara mendidik dan menganiaya.
Dalam laporan Liputan6.com berjudul "Mengurai Masalah Kepala Sekolah Tampar Murid Ketahuan Merokok hingga Bikin Ratusan Siswa Mogok Belajar", pemerintah daerah menegaskan bahwa penonaktifan dilakukan untuk menenangkan situasi, bukan bentuk penghukuman akhir.
Namun di mata masyarakat, banyak yang terlanjur menganggapnya sebagai sanksi langsung atas "ketegasan" kepala sekolah.
Pelajaran untuk Dunia Pendidikan
Menurut para pakar yang dikutip MPN Indonesia dalam artikel "Akademisi Soroti Kasus Kepsek yang Tampar Murid Merokok: Jangan Buru-buru Kriminalisasi Guru," pendidik seharusnya dilindungi selama tindakannya proporsional dan bertujuan mendidik.
Penegakan disiplin tanpa perlindungan hukum bisa membuat para guru dan kepala sekolah kehilangan wibawa serta enggan menegur kesalahan siswa.
Namun tentu saja, perlindungan bukan berarti pembenaran atas kekerasan. Seperti ditegaskan oleh KPAI melalui laporan Detik.com, sanksi terhadap kepala sekolah harus proporsional, dan pihak sekolah sebaiknya melibatkan orang tua serta pendekatan pembinaan, bukan hukuman fisik.
Refleksi: Antara Tangan dan Teladan
Kasus SMAN 1 Cimarga ini menjadi cermin bahwa pendidikan kini berjalan di atas garis tipis antara kewibawaan dan pelanggaran hukum.
Kepala sekolah, yang seharusnya menjadi figur panutan, kini mudah diseret opini publik hanya karena satu video yang viral.