Mohon tunggu...
Nurista Purnamasari
Nurista Purnamasari Mohon Tunggu... jurnalis/editor

Perempuan independen yang berpikiran terbuka, suka menulis dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bubur Sumsum, Warisan Kuliner Nusantara Sebagai Simbol Terima Kasih

19 September 2025   12:04 Diperbarui: 19 September 2025   12:23 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bubur sumsum merupakan salah satu kuliner tradisional Indonesia yang telah melekat dalam budaya masyarakat sejak berabad-abad lalu. Hidangan berbahan dasar tepung beras ini dikenal dengan teksturnya yang lembut dan kuah gula merah yang manis legit.

Tak hanya menjadi santapan harian, bubur sumsum juga memiliki nilai filosofis dan sejarah panjang yang menjadikannya bagian penting dari warisan kuliner Nusantara.

Hingga kini pun, walaupun tak lekat dengan moment tradisi dan budaya, bubur sumsum pun masih bisa ditemui dan ada yang menjualnya. Masih menjadi pilihan kudapan pagi hari yang manis dan gurih.

Baca Juga: Kota Tidore Kepulauan: Negeri Seribu Kearifan di Tepi Timur Indonesia

Mungkin bubur sumsum tak sepopuler bubur ayam atau yang lainnya, namun kuliner nusantara ini tetap eksis dan menjadi salah satu kuliner tradisional yang bisa diolah maupun dipadukan dengan tampilan dan citarasa yang lebih modern.

Sejarah dan Asal-Usul Bubur Sumsum

Bubur sumsum berasal dari wilayah Jawa, Bali, dan Sumatra, dan telah dikenal sejak masa pra-kolonial. Nama "sumsum" merujuk pada warna putih dan tekstur lembut bubur yang menyerupai sumsum tulang.

Pada masa penjajahan Belanda abad ke-17, bubur sumsum menjadi alternatif pangan rakyat yang kehilangan akses terhadap beras karena perampasan lahan oleh kolonial.

Baca Juga: Manisnya Kolak Diantara Filosofi Spiritual dan Media Dakwah

Dalam tradisi masyarakat Jawa, bubur sumsum sering disajikan sebagai bentuk ucapan terima kasih dalam hajatan besar seperti pernikahan dan khitanan. Filosofinya adalah pemulihan tenaga setelah bekerja keras, karena bubur sumsum dianggap mudah dicerna dan menenangkan tubuh.

Filosofi Bubur Sumsum dalam Budaya Lokal

Bubur sumsum bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol kesederhanaan, kehangatan, dan kebersamaan. Di beberapa daerah, bubur ini diyakini membawa keberuntungan dan sering disajikan dalam ritual adat atau perayaan keagamaan. Warnanya yang putih melambangkan kesucian dan ketulusan, sementara kuah gula merah mencerminkan manisnya hidup dan rasa syukur.

Perkembangan Bubur Sumsum di Era Modern

Meski berasal dari tradisi kuno, bubur sumsum terus berkembang dan berinovasi. Kini, bubur sumsum hadir dalam berbagai varian seperti bubur sumsum hijau dengan daun pandan atau daun suji.

Baca Juga: Dari Maluku Utara hingga ke Australia, Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah lewat Hip-Hop ala Presiden Tidore

Ada pula bubur sumsum dengan topping biji salak, kolang-kaling, atau ubi. Dalam versi yang lebih modern, bubur sumsum hadir dengan tambahan susu kelapa, keju, atau buah segar.

Bubur sumsum juga menjadi takjil favorit saat Ramadan dan dijual di pasar tradisional hingga restoran modern. Digitalisasi kuliner turut mendorong popularitasnya melalui platform pemesanan makanan online dan konten media sosial.

Bubur sumsum adalah bukti bahwa kuliner tradisional Indonesia mampu bertahan dan beradaptasi lintas zaman. Dengan akar sejarah yang kuat, filosofi yang dalam, dan cita rasa yang khas, bubur sumsum tidak hanya menjadi makanan, tetapi juga simbol budaya dan identitas lokal.

Perkembangannya di era modern menunjukkan bahwa warisan kuliner seperti bubur sumsum tetap relevan dan dicintai oleh generasi masa kini. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun