Bubur sumsum merupakan salah satu kuliner tradisional Indonesia yang telah melekat dalam budaya masyarakat sejak berabad-abad lalu. Hidangan berbahan dasar tepung beras ini dikenal dengan teksturnya yang lembut dan kuah gula merah yang manis legit.
Tak hanya menjadi santapan harian, bubur sumsum juga memiliki nilai filosofis dan sejarah panjang yang menjadikannya bagian penting dari warisan kuliner Nusantara.
Hingga kini pun, walaupun tak lekat dengan moment tradisi dan budaya, bubur sumsum pun masih bisa ditemui dan ada yang menjualnya. Masih menjadi pilihan kudapan pagi hari yang manis dan gurih.
Baca Juga: Kota Tidore Kepulauan: Negeri Seribu Kearifan di Tepi Timur Indonesia
Mungkin bubur sumsum tak sepopuler bubur ayam atau yang lainnya, namun kuliner nusantara ini tetap eksis dan menjadi salah satu kuliner tradisional yang bisa diolah maupun dipadukan dengan tampilan dan citarasa yang lebih modern.
Sejarah dan Asal-Usul Bubur Sumsum
Bubur sumsum berasal dari wilayah Jawa, Bali, dan Sumatra, dan telah dikenal sejak masa pra-kolonial. Nama "sumsum" merujuk pada warna putih dan tekstur lembut bubur yang menyerupai sumsum tulang.
Pada masa penjajahan Belanda abad ke-17, bubur sumsum menjadi alternatif pangan rakyat yang kehilangan akses terhadap beras karena perampasan lahan oleh kolonial.
Baca Juga: Manisnya Kolak Diantara Filosofi Spiritual dan Media Dakwah
Dalam tradisi masyarakat Jawa, bubur sumsum sering disajikan sebagai bentuk ucapan terima kasih dalam hajatan besar seperti pernikahan dan khitanan. Filosofinya adalah pemulihan tenaga setelah bekerja keras, karena bubur sumsum dianggap mudah dicerna dan menenangkan tubuh.