Mohon tunggu...
Risman Senjaya
Risman Senjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Writer Wannabe

Writer wannabe. Hobi fotografi dan musik. Peminat novel Tere Liye dan Ika Natassa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jerat Nista

22 Desember 2020   13:58 Diperbarui: 22 Desember 2020   14:07 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Aku terdiam menatap sosok wanita yang berdiri tak jauh dariku. Ada sedikit keraguan bahwa wanita ini hanya mirip saja. Namun ada hal yang begitu personal membuatku yakin tak salah orang. Di lengan kirinya melingkar jam tangan yang dulu pernah Aku berikan. Sejenak Aku bimbang, haruskah kusapa atau tidak. Sementara ini kupilih untuk tidak menyapa.

Aku lalu mengambil tempat duduk di bagian depan. Sambil menunggu pesanan, mataku tak henti menatap wanita itu. Pikiranku melayang ke masa lalu. Saat Aku dan dia begitu dekat. Bukan sebagai kekasih apalagi suami-istri, hanya sebagai..., ah bingung Aku menyebutnya. Katakanlah sebagai friend with benefit.

Seorang pelayan yang mengantarkan pesanan, memutus lamunanku. Seporsi pecel lele, lengkap dengan sayur asem, tahu tempe dan lalapan. Tak lupa segelas teh manis hangat untuk penawar dahaga. Apa yang tersaji menggugah seleraku yang bosan dengan masakan hotel tempatku menginap. Mari makan!

Aku makan dengan lahap. Entah karena lapar atau memang doyan. Sambil melahap hidangan, sesekali Aku melirik wanita itu yang sedang meracik sambal dan menata pesanan. Ah, dia masih seperti tiga tahun lalu, cantik. Yang berbeda hanyalah rambutnya yang dulu berwarna coklat karamel, kini berwarna hitam. Ah, biarlah itu semua jadi kenangan. Mantap kuputuskan untuk tidak menyapanya. Selesai makan, segera kubayar dan cepat pergi.

Aku sedang membuka pintu mobil saat seseorang memanggil namaku. Suaranya terasa akrab ditelingaku. Ketika Aku menoleh dan berbalik arah, tiba-tiba saja sang pemilik suara memelukku. Aku hanya mematung tak menyambut pelukannya.

"Jahat! Jahat! Bang Rifki jahat! Sudah jauh-jauh mampir malah ngga mau ketemu Anggi," ujar wanita itu sambil memukul dadaku manja.

"Abang ngga mau mengganggu kamu yang sibuk bekerja." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aduh kenapa pula ketahuan begini, batinku. Aku seperti maling yang tertangkap basah. Aku memikirkan bagaimana caranya lepas dari situasi ini.

Anggi lalu menarik tanganku, kembali menuju ke lapak pecel lelenya. Aku menurut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Kami lalu duduk di kursi paling belakang. Kami duduk berhadapan terpisahkan meja.

"Mas Rifki apa kabarnya? Kemana aja selama ini? Koq ngilang gitu aja. Nomornya ngga aktif, pasti Bang Rifki ganti nomor yah? Koq bisa sampai di sini?" cecar Anggi. Pupil matanya membesar. Ia terlihat begitu antusias.

"Kabar Abang baik. Kabar kamu sendiri bagaimana? Abang ke kota ini dalam rangka tugas kantor," jawabku.

"Anggi senang banget bisa ketemu lagi sama Abang," jawab Anggi sambil tersenyum dan menggenggam erat tanganku. Senyumnya seketika lenyap ketika matanya melihat sesuatu di tanganku.

"Eh, Abang sudah menikah yah?" tanya gadis berwajah mirip artis Risty Tagor itu. Kurasakan ada sedikit nada kecewa dalam kata-katanya. Genggamannya pada tanganku berangsur dilepaskannya.

"Iya, sudah hampir tiga tahun Abang menikah. Kamu sendiri sudah menikah?" tanyaku seraya melihat jemari tangannya. Aku hanya ingin memastikan karena kulihat ada cincin terpasang di jari manisnya.

"Baru beberapa bulan lalu, Bang. Boleh lihat foto istri Abang? Anggi mau lihat siapa wanita yang beruntung itu." Anggi tersenyum dengan wajah jenaka.

Kuperlihatkan beberapa foto Qonita, istriku. Wanita cantik berhijab yang kunikahi hampir tiga tahun lamanya. Wanita yang membuatku berhenti total dari gemerlap dunia malam. Wanita yang telah memberiku seorang jagoan. Wanita yang membuat jalan hidupku menjadi lebih terarah.

"Wah, cantik banget istrinya, Bang. Pantas saja Anggi disingkirkan. Habis manis sepah dibuang. Tanpa pamit lagi," ujar Anggi sambil memasang wajah merengut. Aku tertawa dan refleks tanganku menjawil hidung mancung Anggi. Sesuatu yang kusesali setelahnya, karena mengingatkan akan kenangan masa lalu.

Sejenak kami terdiam. Ada suasana canggung disana. Entah apa yang ada dipikiran Anggi, yang jelas ada hati yang harus kami jaga. Aku memikirkan cara untuk keluar dari keadaan ini.

"By the way, kenapa jam tangan Baby G dari Abang masih kamu pakai?" tanyaku memecah keheningan.

"Ya, iya dong. Ini pemberian orang yang istimewa di hati Anggi. Ya, walaupun setelahnya Anggi dilupakan begitu aja, sih. Pas lagi sayang-sayangnya lagi," tutur Anggi dengan memasang mimik wajah pura-pura sedih. Setelahnya kami berwisata masa lalu tanpa mesin waktu sampai warung tutup.

"Abang pamit yah. Abang senang sekali melihat keadaanmu sekarang," kataku sambil mengeluarkan kunci mobil.

"Kalau tugas ke kota ini, jangan lupa mampir kesini. Janji yah, Bang!" Anggi lalu mencium tanganku layaknya istri melepas kepergian suami. Sesuatu yang membuatku risih karena dilihat oleh orang lain.

"Iya, Abang janji. InsyaaAllah," ucapku singkat seraya menarik tanganku.

Dua bulan setelah pertemuan tak terduga itu, Aku kembali menyambangi kota yang menjadi kampung halaman Anggi. Dihari terakhir Aku sempatkan mampir ke warung pecel tempatnya bekerja. Namun tak kutemukan sosok Anggi disana.

"Anggi kemana, Mas? Koq ngga kelihatan? Padahal saya datang kesini cuma mau ketemu dia, bukan mau makan pecel lele," candaku sambil menyerahkan sejumlah uang pada kasir.

"Dia balik lagi ke tempat kerja lamanya, Mas. Dia ngga betah kerja disini," ujar sang kasir sambil memeriksa billing pesananku, lalu memberikan uang kembalian. 

"Memangnya Anggi kerja dimana, Mas?" tanyaku. Kasir itu tak langsung menjawab. Dia tampak ragu atau mungkin sedang memilih kata. Kusebut sebuah nama tempat yang dulu sering Aku sambangi. Kasir itu mengangguk. Aku menghela nafas panjang.

"Kenapa memangnya, Mas? Ada yang mau disampaikan? Kalau mau nomor teleponnya, saya bisa berikan," ucap sang Kasir. Aku menggeleng sambil tersenyum tipis, lalu pamit dan berlalu. Ah, memang tak mudah untuk keluar dari lembah nista itu. Jeratnya masih saja bisa menggapai orang yang berusaha keluar.

***       

Laun kulajukan Honda Jazz RS-ku meretas lalu lintas kawasan Cengkareng. Lalu lintas cukup ramai jelang maghrib itu. Kubelokkan arah menuju sebuah kompleks ruko tempat Anggi bekerja. Aku keluar dari mobil dan menatap bangunan ruko tiga lantai yang berdiri dihadapanku. Logo enam huruf dengan neon warna merah seolah memanggilku. Mereka seolah merindukan teman lama.

Aku melangkah pelan dan penuh ragu. Tepat di depan pintu masuk langkahku terhenti. Faksi setan dan faksi malaikat sedang melakukan sidang pleno. Situasinya sedang deadlock sepertinya. Voting pun dilaksanakan dengan cepat. Faksi setan sedikit lebih unggul.      

Sesaat sebelum kudorong pintu masuk, kudengar kumandang suara azan maghrib. Panggilan sholat itu seolah membalikkan keadaan. Melepaskanku dari jerat licik lembah nista yang sudah lama berhasil kutinggalkan. Kupejamkan mata dan berbalik arah. Dengan langkah cepat Aku kembali menuju mobil. Tepat saat kupegang handle pintu mobil, kudengar suara wanita memanggil namaku. Wanita itu memelukku dari belakang.

"Jahat! Jahat! Bang Rifki jahat! Sudah kesini malah langsung pergi lagi!" ujarnya manja. Ah, sial! Bagaimana ini? Ah, sudahlah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun