Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Peran dan Tantangan Guru dalam Menghadapi Murid yang Berpikir Kritis

7 Desember 2019   16:13 Diperbarui: 9 Desember 2019   03:25 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pendidikan Karakter di Global Sevilla School(Dok. Global Sevilla School) (Sumebr foto: edukasi.kompas.com)

Suatu saat di kelas saya di awal semester lalu. Tema saat itu adalah evaluasi diri dan menata kembali tujuan studi. Saya bertanya kepada siswa satu kelas, "Apa tujuanmu bersekolah?", Semua siswa mendapat giliran untuk menjawab, sehingga anggapannya bisa jadi ada 32 jawaban yang berbeda, atau malah sama?

Saya membuatnya dalam bentuk daftar di papan tulis. Supaya selesai menjawab ide-idenya tak hilang. Kami pun dapat melakukan analisa kecil-kecilan dari setiap pemikiran yang muncul di kelas saat itu.

Tak terduga jawaban tidak selalu normatif. Misal saja ada yang untuk mencari uang saku, atau sekadar mendapat banyak teman. Tetapi sampailah saya pada seorang siswa. Ia lumayan berpikir serius kemudian menjawab, "Untuk memberi pekerjaan kepada Guru".

Jleb...otak berpikir saya berhenti sejenak. Jujur agak tehenyak. Tetapi dalam hitungan detik, transmisi di otak memberi kode oke, yang membuat saya malah tertawa terbahak.

Seolah disuruh, sekelas jadi tertawa bersama. Tak ada kata yang saya ucapkan. Hanya menambahkan saja jawaban tadi di dalam daftar. Selanjutnya saya mengajak mereka menganalisa bersama. Kali itu arahnya menyasar motivasi dalam tujuan studi. Beragam motivasi pun dijawab oleh siswa, ada yang dari dalam diri dan ada yang berasal dari luar diri. 

Lanjut, saya ingin beralih mengajak Anda meninggalkan ruang kelas. Marilah kita fokus pada Jawaban siswa tadi. Mungkin buat sebagian orang terasa "kurang ajar" dan nyeleneh. Saya juga mohon maaf kepada pembaca, yang di antaranya adalah juga bapak dan ibu guru. 

Permohonan maaf yang bukan tanpa alasan. Jika teringat seorang guru saya zaman dahulu saat masih sekolah. Ketika ada teman-teman yang sulit diatur, beliau sering mengatakan, "Kalian jangan macam-macam dengan saya. Kalian pikir saya ini kalian gaji? Saya ini digaji oleh negara!"

Duh! Kalau saja kata-kata tadi didengar oleh beliau, jangan-jangan penghapus kayu bisa melayang kena kepala!

Pertemuan-pertemuan saya dengan siswa baik di kelas maupun di luar kelas terkadang dihadapkan dengan pertanyaan ataupun pernyataan kritis dari mereka. 

Seorang siswa pernah berkata, "Menurut saya, tidak semua orang perlu sekolah. Asalkan ia memiliki sebuah keterampilan yang bisa diasah dan diandalkan oleh dirinya. Sehingga ia bisa hidup mandiri".

Atau pertanyaan-pertanyaan, "Mengapa harus memakai sepatu hitam saat upacara Bu?", "Mengapa kok tidak boleh memakai seragam dengan bawahan celana jeans? Wong celana kain seragam saya masih basah karena kemarin kena hujan", "Mengapa kita selalu diberi banyak PR?" 

"Ah, jadi nggak semangat belajar Bu...soalnya jamnya sering kosong. Nggak pernah dijelaskan. Tetapi disuruh mengerjakan tugas terus".

Segala macam pertanyaan atau pernyataan yang seringkali menguji kesabaran, juga terkadang menggelitik hati, bahkan mengusik nurani. 

Generasi zaman sekarang, jika usianya setingkat SMP sampai SLTA, sepertinya bukan lagi masuk generasi milienial. Melainkan mungkin sudah generasi Z, generasi alpha atau apalah, intinya mereka generasi baru, yang juga besar dengan fasilitas dan cara pikir milenial. 

Sebagai guru atau pendidik dalam arti luas yakni orang tua, seringkali kita kewalahan menghadapi cara bepikirnya yang kritis. Selalu mempertanyakan segala sesuatu, bahkan menantang cara pikir orang yang lebih dewasa.

Sebenarnya juga kita tak perlu kaget. Mungkin banyak juga andil kita membentuk itu. Makanan mereka sehari-hari serta teknologi informasi. Dan coba ingat-ingat kita pernah "kasih makan" apa lagi mereka ini? Hehehe...

Menanggapi sikap kritis siswa masa kini, tentunya tidak dapat lagi dengan melayangkan penghapus kayu di langit-langit kelas. Seperti zaman saya dahulu. Atau selalu dengan kata-kata sakti "Pokoknya..!", jangan-jangan yang terjadi kita malah dimusuhi. 

Saya pribadi beranggapan jika siswa berani bersikap dan berkata kritis menandakan kalau dia nyaman. Atau mungkin ada hal yang memang perlu dibenahi. Tetapi intinya mereka berani mengatakan apa adanya tanpa ada rasa terintimidasi. Bukankah itu yang namanya merdeka belajar?

Mengajak siswa bersikap kritis dan apa adanya kadang bukan hal mudah. Menawarkan berpendapat di kelas atau tawaran untuk menanggapi materi atau permasalahan yang disajikan, seringkali menjadi monopoli beberapa orang saja. Selebihnya memilih pasif. 

Sebagai guru, saya merasa perlu mendorong siswa untuk berani memberikan pendapat pribadinya atau hasil pemikirannya. Berikan kesempatan kepada semua anak, kalau perlu satu persatu, terutama mereka yang "jarang tampil".

Sikap kritis siswa perlu saya hargai, jangan ditekan tetapi perlu diberi arahan. Siswa senang kalau diberikan alasan logis. Jika ditampilkan fakta-fakta atau teori yang ilmiah. Bahkan pengalaman pibadi guru atau orang lain yang nyata tetapi bermakna. 

Mereka sudah tak mempan diberi kata "Pokoknya...!", kalau saja begitu, di hadapan kita sekilas mereka melakukan apa yang kita inginkan. Tetapi "di belakang" mereka melakukan pemberontakan. 

Sikap kritis siswa perlu ditumbuhkan bersama dengan sikap asertif. Yakni sikap tampil percaya diri apa adanya dengan tetap menghargai tujuan dan hak-hak pribadi orang lain. Bersama itu juga memperjuangkan tujuan dan hak pribadinya. Tanpa melalaikan kewajibannya sendiri. 

Sehingga kritis juga asertif, kritis yang elegan. Bukan kritis yang "liar" tanpa batasan. Atau kritis yang sedikit-sedikit menjadi tukang kritik nan nyinyir

Saya ingin review ke awal. Mengapa kamu bersekolah? Jawabnya. "Untuk memberi pekerjaan kepada Guru".

Saya memang memilih untuk tidak bereaksi tersinggung apalagi marah. Saya malah jadi tertawa, mentertawakan diri saya sendiri. Menjadi bahan introspeksi bagi saya sebagai guru.

Mungkin selama ini terlupakan. Bahwa bukan hanya anak didik yang menjadi berarti karena jasa gurunya. Melainkan juga guru yang menjadi punya arti karena keberadaan anak didiknya. 

Bukankah kita saling membutuhkan? Bahkan bisa bertukar peran? Karena sejatinya semua orang adalah guru dan semua orang adalah murid. 

Kalimat kritis ini seakan membuka pemikiran bahwa selama ini kita jangan hanya merasa pantas untuk mengajar, melainkan juga perlu belajar dari para siswa kita.

Bukankah ada hal-hal dalam dunia mereka yang masih juga belum kita pahami? Bukankah seringkali ada gap zaman yang memisahkan kita dengan mereka yang harus dapat kita siasati, untuk bisa meraih pikiran dan hatinya?Apalagi caranya kalau bukan bersedia belajar lagi hal-hal baru? 

Merdeka belajar bagi saya, salah satunya adalah mengapresiasi sikap kritis. Sikap yang sering membawa kita membuka cakrawala baru. Sehingga saya tidak ingin alergi terhadap sikap kritis para siswa saya. Saya ingin membuat mereka merasa didengarkan. 

Mungkin bagi para remaja pasca milenial ini, guru dirindukan bukan lagi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Itu mungkin puisi lawas. Tetapi terlebih diharapkan menjadi seorang kawan atau malahan sahabat tanpa tanda jasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun