Mohon tunggu...
Riska Yunita
Riska Yunita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Be your own kind of beautiful

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mari Menjadi Bijak Bersama

19 Juli 2021   10:01 Diperbarui: 19 Juli 2021   10:27 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : www.pexels.com

Masuk di tahun kedua ketika pandemi Covid 19 masih menjadi topik utama dalam setiap kebijakan di negara kita, Indonesia. Entah sudah berapa banyak kebijakan pemerintah lakukan untuk mengatasi pandemi di negara kita tercinta. Entah sudah berapa ratus artikel diterbitkan atas setiap kebijakan beserta pro kontra yang mengikutinya kemudian.

Menjadi adil untuk semua kalangan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tentu akan ada yang merasa dirugikan ketika di sisi lain ada pula yang merasa diuntungkan. Menjadi bijak disaat banyak kepala yang harus dipuaskan tentu bukan hal yang sederhana. Dan saya rasa seadil dan sebagus apapun kebijakan yang diterapkan tidak akan efektif jika pada dasarnya kita belum berada pada perahu yang sama.

Bagaimana seorang nelayan akan mampu menerjang ombak di lautan ketika perahu yang harus ia kendalikan ternyata lebih dari satu buah? 

Pada dasarnya kita mungkin masih berada di perahu yang sama sebelum pandemi ini hadir di dunia. Setidaknya kita sama-sama tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi dan masih harus kita hadapi hingga saat ini. Mungkin ada kalangan yang sudah lebih mengerti hal ini memang ada karena ada dibidang yang berkaitan. Namun tentu ada pula kalangan yang sangat awam tentang hal demikian.

Ketika hal baru seperti ini muncul bagi kalangan yang awam, hal pertama yang mereka tahu adalah dasar dari bagaimana keputusan mereka selanjutnya untuk beradaptasi atas hal baru tersebut. Jika mereka menemukan atau mencari tahu pada hal yang memberi pandangan dengan konotasi yang tidak baik, hal ini mungkin menjadi hal yang mereka percayai selanjutnya.

Banyak dari kita yang tidak peka atau mungkin terbiasa dengan hidup yang hanya sekadar mengenal tidur, makan, dan menacari nafkah. Mereka yang mungkin secara finansial hanya berpikir untuk bisa makan agar bisa bertahan hidup atau mereka yang tidak mengenal bagaimana menjaga tubuhnya sendiri karena dipikirannya selama ia masih mampu bergerak dan beraktivitas artinya mereka sehat.

Kita tidak bisa mengecualikan mereka yang hidup dengan pemikiran demikian karena mereka pun bagian  dari rakyat Indonesia yang harus dilindungi pula. Tidak semua yang tidak percaya karena mereka tidak peduli. Mereka mungkin hanya korban dari informasi kurang bijak yang akhirnya menjadi hal yang mereka percaya kemudian.

Disinilah seharusnya mereka yang mengerti dan mereka yang peduli untuk bisa membantu mengatasi memberikan informasi yang bijak. Benar. Saya rasa informasinya harus bijak. 

Bijak yang saya maksud adalah mampu membuat mereka yang tidak tahu menjadi tahu namun tidak untuk membuat mereka pesimis. Tidak semua orang punya kapasitas pemikiran yang sama. Jika kita bicara dengan bahasa yang tinggi untuk mereka yang bahkan ketika sakit hanya memilih tidur untuk menjadi obatnya, apakah tidak terlalu sulit untuk bisa dipahami? Pintar bukan hanya soal ilmu namun juga tentang memahami bagaimana cara berkomunikasi perihal ilmu yang kita miliki.

Di situasi seperti ini, mereka yang mengerti menjadi kalangan yang memiliki peluang lebih banyak untuk menciptakan keberhasilan menangani pandemi ini. Mengapa? Karena kita yang lebih mengerti, yang memiliki akses untuk memberi informasi seharusnya merangkul semua kalangan untuk berada bisa berada di perahu bersama. Namun sayangnya dewasa ini kita justru melihat lebih banyak yang berdebat perihal percaya tidak percaya dibanding saling bergandengan tangan untuk mencari jalan keluar bersama.

Mungkin terasa sulit untuk bisa mengubah pemikiran orang perihal apa yang sudah mereka yakini sebelumnya. Namun jika kita bisa menyampaikan sesuatu yang sesuai dengan situasi mereka, saya rasa mereka pun akan bisa memahami niat yang kita sampaikan. 

Cara berkomunikasi dan saling menghargai menjadi hal yang sangat minim dirasakan belakangan ini. Ketika yang memiliki akses untuk bisa berbagi informasi tidak bijak menggunakan kemampuannya dengan memberi informasi yang sumbernya belum terverifikasi. Ketika setiap orang saling berusaha 'memaksa' orang disekitarnya mengikuti cara pikirnya. Ketika yang awam tidak paham akan menverifikasi mana sumber yang relevan mana yang tidak. Semua menjadi semakin kacau ketika kita tidak bisa berkomunikasi secara bijak dan sesuai dengan siapa yang ingin kita ajak  berkomunikasi.

Di sini ada contoh nyata yang sederhana yang mungkin bisa saya sampaikan dan saya harap bisa menjadi pemahaman atas apa yang saya sampaikan perihal cara berkomunikasi dan saling menghargai yang saya banyak tekankan dalam hal ini.

Saya adalah salah satu kalangan awam yang tidak mengerti perihal kondisi ini pada awalnya. Saya cenderung hanya mengikuti apa yang diperintahkan tanpa mencari tahu apa yang sebenernya kita hindari. Sampai akhirnya ayah saya harus masuk ke rumah sakit di awal tahun 2021 kemarin.

Ayah di diagnosa terserang demam berdarah kala itu. Karena berada di kondisi pandemi, rumah sakit memang mengharuskan semua calon pasien harus di test PCR terlebih dahulu dan ayah negatif saat itu. Karena hanya diagnosa demam berdarah maka ayah masih diperkenankan ditemani satu anggota keluarga yaitu saya saat itu dan saya pun harus di test saat mendaftarkan diri sebagai wali pasien dan hasilnya negatif.

Hari ke-3 saya harus bertukar dengan Ibu dan akhirnya Ibu mengikuti prosedur yang sama dan semua dalam kondisi baik. Dan sampailah di hari ke-5, pihak rumah sakit mengabari saya untuk memohon izin melakukan test PCR kembali kepada ayah karena kondisinya mulai tidak stabil.

Saya sedang bersama adik saya ketika pihak rumah sakit menghubungi. Dan adik saya memiliki pemikiran berbeda soal pandemi ini. Dia yang masih menjadi mahasiswa yang entah mencari informasi dari mana terus mencecar saya perihal informasi-informasi yang terkesan negatif perihal rumah sakit. Inti dari pendapatnya adalah ia tidak setuju ayah melakukan test lagi karena khawatir akan di covid-kan pada akhirnya.

Saya bukan orang yang mengerti perihal virus itu sendiri. Saya tidak tahu bagaimana cara menjelaskan atau mendebatkan pemikirannya karena saya pribadai tidak paham akan proses bagaiman virus ini menjangkit atau dampaknya pada kami. Di pikiran saya saat itu hanyalaj saya ingin ayah sembuh.

Dan akhirnya saya melakukan janji temu dengan dokter di rumah sakit ayah di rawat. Saya mengajak adik saya untuk bertanya langsung atas apa yang ia ragukan kepada mereka yang mengerti ini secara benar. Saya rasa itu hal paling bikal untuk kondisi kami berdua.

Dokter pun menjelaskan kondisi ayah secara detail. Bahkan menceritakan solusi dan langkah selanjutnya entah hasilnya positif dan negatif pada test yang akan dilakukan. Dan akhirnya adik saya pun menjadi lebih yakin setelah apa yang dia dengar secara langsung. Saya tidak menyalahkan pemikirannya. Dia bersikap demikian karena khawatir ayah menjadi korban atas oknum yang mungkin menyalahgunakan kekuasaan. Pada akhirnya saya pun menjadi lebih miris dengan pemberi informasi yang hanya membuat orang menjadi memiliki pemikiran yang negatif perihal kondisi ini. Hal itu jika dibiarkan mungkin biasa membuat adik saya atau kalangan yang punya pemikiran serupa makin tidak percaya akan adanya pandemi ini. 

Dan akhirnya ayah menjalani test kedua dan hasilnya adalah positif covid-19. Sekali lagi karena kami sekeluarga tidak paham, kami berkonsultasi penuh kepada rumah sakit u tuk tindakan selanjutnya. Pihak rumah sakit memberikan informasi terkait prosedur dan alternatif solusi atas kondisi ayah. Karena pada saat itu semua rumah sakit rujukan covid sednag penuh, akhirnya ayah dirawat dengan bantuan asuransi. Bahkan pihak rumah sakit menjelaskan kepada kami detail biaya untuk perawatan ayah selanjutnya. Pihak asuransi pun bekerja sama dengan baik untuk membantu pencairan biaya rumah sakit ayah. 

Saya dan keluarga bahkan selalu berkomunikasi secara probadi kepada dokter yang merawat ayah atas apa yang ingin kami tanyakan dan perihal kondisi ayah. Karena penanganan untik virus covid ini berbeda-beda pada setiap pasiennya. Dan yang saya pelajari saat merawat ayah saat itu adalah bagaimana kesehatan mental adalah salah satu faktor pendukung kesembuhan yang utama. Entah untuk pasien atau keluarga pasien.

Bayangkan saja bagaimana seorang pasien covid yang membaca informasi negatif perihal virus itu.  Bagaimana jika keluarga pasien yang harusnya menguatkan justru membuat pasien harus semakin tidak percaya sedangkan pasien sendirilah yang haru berjuang melawan penyakit tersebut untuk bisa sembuh? Bukankah hal demikian hanya akan menurunkan optimisme kesembuhan pasiennya?

Saat itulah kami sekeluarga belajar menanggapi kondisi pandemi ini. Bagaimana kami berkomunikasi dan menghargai pendapat kami masing-masing namun dengan satu keyakinan yang sama yaitu sepakata menjaga kesehatan bersama. Yang saya syukuri saat itu adalah kami tidak mencari informasi ke luar. Apa yang kami tidak yakini  atau kami tidak mengerti pada awalnya menjadi terjawab dengan bertanya pada pihak yang mengerti secara ilmu dan praktiknya. Itu cara terbijak yang kami lakukan dan solusi terbaik atas perbedaan pemikiran kami pada awalnya.

Mungkin dari cerita keluarga kami bisa menjadi contoh sederhana bahwa pentingnya mengetahui cara berkomunikasi dan menghargai satu sama lain adalah cara paling bijak untuk melalui ini secara bersama.

Pada dasarnya, kita berada ditujuan yang sama. Kita semua ingin dunia kembali seperti sedia kala. Bukan saatnya untuk saling memaksakan dan meyakini mana pemikiran atau cara yang benar menghadapi ini. Situasi hidup yang dihadapi setiap orang berbeda-beda. Tidak semua yang tidak peduli melakukan itu karena tidak peduli. Mungkin mereka butuh edukasi yang bisa dikomunikasikan sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi. Jangan mendebat mereka saat kita sendiri bukanlah seorang ahli. Ajak mereka bertanya dan mencari tahu keraguannya ke mereka yang tahu hal ini secara pasti. Sebarkan informasi yang membangun rasa kebersamaan bukan informasi yang saling menyudutkan. Tidak semua hal bisa diubah dengan cara yang kasar atau menyindir di media sosial. Yang berubah bukan pemikiran mereka namun justru memecah persaudaraan kita sendiri. Biacaralah dengan memahami terlebih dahulu siapa yang kita ajak bicara. Setidaknya begitulan cara terbijak yang bisa kita lakukan di lingkungan sekitar kita.

Mari selalu menggunakan masker dengan benar, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas untuk menjaga diri kita sendiri. Saat semua dari kita berusaha menjaga diri setidaknya kita mengurangi risiko menyakiti keluarga atau orang sekitar kita yang lebih rentan terkena virus ini. Kita tahu tidak semua dari kita mengenal betul kondisi tubuh kita dan penyakit apa yang ada dalam tubuh kita. Akan lebih baik jika kita selalu mawas diri bukan? 

Ayo saling berkomunikasi dengan cara yang lebih menghargai. Mari bijak bersama menghadapi pandemi untuk Indonesia agar bisa pulih kembali.

Salam hangat dan salam sehat untuk kita semua. Mari saling membantu untuk bisa bertahan hidup demi masa depan kita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun