Mohon tunggu...
Riska Yunita
Riska Yunita Mohon Tunggu... Bankir - Karyawan Swasta

Be your own kind of beautiful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Karena Saling Menghargai adalah Kunci

25 Juli 2020   12:15 Diperbarui: 25 Juli 2020   16:54 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menghargai (Sumber: www.pixabay.com)

Beberapa waktu lalu, terdapat thread di Twitter yang menyuarakan tentang kisah seorang anak yang menjadi "penyokong" kehidupan keluarganya. 

Thread ini kemudian banyak dibagikan dan menarik perhatian pengguna social media, hingga akhirnya muncul istilah "toxic relationship" dalam keluarga yang diklaim sebagai inti dari permasalahan dalam kisah yang dibagikan tersebut.

Kisah yang ramai diperbincangkan tersebut tentang keluh kesah dari seorang anak yang sudah bekerja dan penghasilannya ia gunakan untuk menyokong kehidupan keluarga dari ayah ibu hingga saudara-saudaranya bahkan untuk saudaranya yang sejatinya sudah berkeluarga.

Dari sepenggal kisah itu, muncullah kisah-kisah lain yang serupa, yang ikut disuarakan oleh para pembaca yang merasa senasib dengan kisah si anak.

Dari mereka yang merasa "dituntut" untuk membalas budi ketika sudah memiliki penghasilan sendiri, mereka yang merasa diintimidasi oleh segala kisah perjuangan atas kehidupan yang mereka miliki saat ini, hingga mereka yang berani bersuara lantang bahwa mereka sebagai anak, tidak minta untuk dilahirkan.

Membaca opini-opini mereka yang kebanyakan notabene menyuarakan isi hati seorang anak tentang bagaimana kehidupan dalam keluarga, akhirnya membuat saya berpikir, sebenarnya bagaimana hubungan anak dan orangtua yang seharusnya terjalin dalam sebuah keluarga itu sendiri?

Jika kita ingin menelusuri lebih dalam, akan banyak kita temui dalam kehidupan di sekitar kita perihal kisah anak yang menjadi penyokong atau tulang punggung keluarga. 

Banyak yang akhirnya harus bekerja di usia dini untuk membantu kehidupan ekonomi keluarganya. Banyak juga kisah anak yang menjadi tonggak dalam keluarga dengan semua anggota keluarga yang menggantungkan kehidupannya dari penghasilan seorang anak yang sudah bekerja itu.

Dan jika kita mencari tahu latar belakang dari kisah-kisah tersebut kemungkinan akan berbeda akar masalahnya untuk setiap kisah. Seperti orang sering katakan, setiap keluarga memiliki permasalahannya sendiri.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa masalah ekonomi menjadi momok yang paling banyak ditemui untuk kisah-kisah seperti ini. Kehidupan ekonomi yang kurang cukup menuntut setiap anggota keluarga untuk berpikir bagaimana cara bertahan hidup, tanpa terkecuali seorang anak sekalipun. Banyak dari mereka yang masih belia namun sudah harus memikul beban hidup keluarga karena keterbatasan ekonomi. 

Ketika melihat anak-anak belasan tahun bekerja di jalanan, banyak orang yang prihatin. Namun keprihatinan itu bisa berubah menjadi kebencian di kala kita tahu bahwa anak belasan tahun itu berasal dalam keluarga dengan orangtua yang memiliki banyak anak. Mereka akan mulai menyalahkan ayah dan ibunya, "Sudah tahu hidupnya susah, mengapa punya banyak anak?", begitu keluh orang pada akhirnya.

Di lain sisi, terdapat keluarga-keluarga yang kehidupannya cukup namun sebenarnya saling tertutup. Tertutup? 

Tertutup yang saya maksud adalah tentang tekanan yang membuat salah satu pihak menjadi tertutup. Yang membuat mereka tidak berani bicara bahkan untuk memperjuangkan hidup.

Si sulung yang bekerja dan menabung untuk membiayai adik-adiknya. Si anak tengah yang pintar yang bekerja di perusahaan dan membantu kakaknya untuk membuka usaha serta adiknya yang masih kuliah. 

Si bungsu yang kuliah dan kerja paruh waktu untuk membantu kehidupan keluarga dan mengejar gelar sarjana untuk dapat penghasilan yang lebih besar nantinya. Dan masih ada banyak drama lain di sekitar kita jika kita mau membuka mata.

Dari kisah-kisah tersebut, tentu menggiring opini pembaca untuk perihatin dengan perjuangan si anak dan kontra terhadap sikap dari orangtua mereka sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam sebuah keluarga.

Mengapa kisah memilukan dari seorang anak menjadi lebih menarin perhatian?

Jawabannya adalah karena pendapat masyarakat kita yang masih cenderung mengagungkan orangtua. "Mana ada orangtua yang nyiksa anaknya?" ,"Orangtuanya berhutang juga untuk besarin anaknya", "Wajarlah, kan harus balas budi ke orangtua"

Nah hal-hal inilah yang akhirnya membuat anak banyak memberontak. Terlebih kenyataan perihal 'image" orangtua tidak sesempurna itu.

Seperti ingin menyuarakan bahwa tidak selalu anak yang durhaka. Orangtua pun bisa saja tak bertanggung jawab atas keluarganya.

Opini masyarakat yang demikian yang akhirnya membuat hubungan dalam sebuah keluarga tidak seintim dan sedekat makna dari kata keluarga itu sendiri. Seakan sudah ada batasan antara siapa yang berkuasa siapa yang tidak. Siapa yang benar siapa yang salah.

Opini-opini lain seperti seorang anak tidak minta untuk dilahirkan, namun orangtua-lah yang memilih untuk melahirkan mereka atau pernyataan bahwa seorang anak tidak bisa memilih di keluarga mana ia ingin dilahirkan, akhirnya membuat hubungan anak dan orangtua menjadi suatu hubungan yang tipis dan singkat.

Pada dasarnya, entah itu anak atau orangtua, kita sama-sama manusia. Yang pasti pernah salah dan selalu belajar dari masa ke masa.

Kebersamaan (Sumber: mediaindonesia.com)
Kebersamaan (Sumber: mediaindonesia.com)

Saya juga sependapat bahwa orangtua pun pernah salah. Tidak semua apa yang orangtua katakan dan putuskan selalu benar. Karena sekali lagi, orangtua juga manusia.

Hal yang ingin saya bahas kali ini bukan tentang mencari siapa yang salah dan siapa yang benar antara anak dan orangtua. Namun bagaimana sebenarnya hubungan anak dan orangtua bermula dan berkembang hingga nantinya sang anak pun beranjak dewasa dan punya kehidupan keluarganya sendiri.

Ketika sepasang kekasih berniat untuk menikah dan membangun sebuah keluarga,tidak hanya cinta yang menjadi bahan pertimbangan utamanya. 

Rasa cinta dan kasih sayang tentu menjadi modal awal dari sebuah hubungan keluarga itu sendri, namun selanjutnya yang sangat perlu dipertimbangkan adalah kesiapan mereka atas keluarga yang akan terbentuk itu nanti.

Bagaimana mereka akan menghidupi keluarga mereka, di mana mereka menetap dan membangun kehidupan keluarganya. Materialistis? Tidak. Ini adalah hal yang sangat realistis. 

Perlu dijelaskan bahwa kesiapan yang dimaksud bukan tentang kemewahan dan gaya hidup. Namun tentang menyelaraskan apa yang sudah dimiliki dengan mimpi yang akan dibangun nanti. 

Tidak lebih besar pasak daripada tiang. Selama itu masih dalam perhitungan yang jelas, saya rasa itu sudah cukup. Bahkan itu lebih baik dibanding berlebih namun masih harus banyak ditagih.

Hal sederhana yang mungkin sering terbaikan oleh para pasangan yang ingin menikah, namun impactnya akan besar ketika jumlah anggota keluarga akan bertambah nantinya.

Kesiapan atas kehidupan jangka panjang yang dimulai sejak dini tentu akan membentuk kenyamanan lain tersendiri. Salah satu hal yang saya rasa hanya pasangan yang berpikiran dewasa yang bisa melakukannya. Intinya adalah, apa yang kita tanam, itulah yang  kita tuai nantinya.

Sepasang kekasih yang menikah dan memiliki buah hati tidak langsung menjadikannya sebagai orangtua. Karena orangtua bukanlah sekadar predikat, namun tentang sebuah peran.

Ketika hadir buah hati dalam keluarga, hadir kehidupan baru yang menjadi tanggung jawab dari pasangan itu sendiri hingga sang buah hati mampu "berdiri" untuk hidupnya sendiri. 

Jatuh bangun, suka duka, dan perjuangan setiap orangtua akan kehidupan anaknya selalu memiliki cara dan ceritanya sendiri. Dan tidak semua memiliki perjalanan yanh indah.

Tak jarang ada yang menyerah, ada yang melarikan diri tanpa pernah berusaha, ada yang salah jalan hingga tersesat bersama. Karena orangtua juga manusia yang pernah salah. 

Karena menjadi orangtua bukan hanya sekadar predikat. Tapi tentang peran yang ditetapkan dalam pikiran bahwa selama anak belum dewasa, dia adalah tanggung jawabku untuk membesarkan dan membentuknya menjadi manusia.

Lalu bagiamana peran dan tanggung jawab anak itu sendiri? 

Ketika seorang anak terlahir. Ia menikmati dan mempelajari apa yang diberi oleh sekitar mereka. Karakter yang terbentuk adalah hasil dari apa yang ditanamkan sekitarnya. Namun ketika seorang anak sudah cukup mengerti atas apa yang ia terima, disanalah waktunya mereka menghargai kehidupan itu sendiri.

Berbakti kepada orangtua bukan tentang membalas budi mereka, namun tentang bagaimana seorang anak belajar menerapkan segala hal baik yang ia pelajari ketika sudah mengerti tentang kehidupan itu sendiri.

Pemikiran seorang anak terbentuk atas segala yang ada di sekitar mereka. Ketika orangtua bisa memahami arti peran menjadi orangtua itu sendiri, saya rasa tidak akan ada dalam pemikiran seorang anak bahwa ketika dewasa dan sudah bepenghasilan, mereka harus membalas segala jasa orangtua dengan membiayai kehidupan keluarga. 

Sekalipun ketika nantinya mereka melakukannya, itu karena keinginan mereka sendiri dan rasa memilikinya terhadap keluarga. Karena sang orangtua pun tak akan mengharap pembalasan tersebut karena membesarkan seorang anak bukan tentang pekerjaan yang perlu dan bisa dibayar kemudian.

Sederhananya ketika kita jatuh cinta, kita bisa melakukan apapun untuk membahagiakan dan membuat pasangan kita bahagia. 

Seorang gadis yang tak suka berada di dapur, lalu mendadak belajar unruk memasak karena ingin memberikan bekal makan siang untuk kekasihnya. Si anak laki-laki konsumtif menjadi belajar hemat untuk menabung demi sapat melamar kekasih hatinya.

Banyak hal-hal romatis yang bisa kita lakukan untuk kekasih namun kita terkadang lupa untuk bersikap semanis itu kepada keluarga kita sendiri. Padahal pendukung utama kita adalah keluarga kita sendiri. Yang menerima kita apa adanya adalah keluarga kita sendiri. Apa salahnya dan apa juga ruginya jika kita saling bersikap baik kepada anggota keluarga kita sendiri terlepas itu status kita sebagai orangtua ataupun anak.

Hidup itu tentang menghargai satu sama lain. Kita hidup di bumi tidak hanya sendiri. Tak perlu menjadi orang lain untuk bisa menghargai sesama, setidaknya jangan menutup pandangan diri. Belajar melihat dari berbagai sudut pandang, sekiranya hal itu bisa membantu kita untuk memahami situasi.

Begitu juga berlaku dalam kehidupan sebuah keluarga. Orangtua tidaklah selalu menjadi pihak yang benar, dan menjadi orangtua tidak menjadikan kita penguasa. 

Jangan paksakan kehendak hanya karena merasa kita adalah orangtua, karena sekali lagi, ada pikiran dan pandangan lain yang harus kita tetap hargai. Ya, jawaban dan kemauan anak kita sendiri. Mereka juga berhak bersuara dan mereka punya kesempatan yang sama atas kehidupan mereka sendiri.

Sedangkan seorang anak juga janganlah menutup mata atas apa yang dimiliki saat ini. Entah kurang, cukup atau berlebih. Kehidupan itu sendiri adalah sebuah anugerah bukan? Maka hargai itu dengan bersikap sebaik mungkin. Sekali lagi, bukan untuk membalas budi, namun untuk memiliki kehidupan yang lebih baik untuk diri kita sendiri.

Kisah-kisah yang disampaikan di atas mencermikan buruknya sikap saling menghargai satu sama lain dalam sebuah keluarga. Bagaimana orangtua harusnya bertanggung jawab dan bagaimana seorang anak  punya hak untuk bersikap. 

Tidak rasa saling menghargai akhirnya membuat ada pihak yang merasa menjadi korban ketika pihak lain merasa apa yang dilakukannya adalah kewajaran dalam kehidupan berkeluarga. Sebuah hubungan keluarga yang akhirnya menjadi "toxic" karena saling menyakiti satu sama lainnya tanpa disadari.

Sekali lagi, mari belajar saling menghargai. Karena kita tidak hidup seorang diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun