"Oke, Sayang,"katanya dengan suara manis, seolah-olah akulah yang menjanjikannya sesuatu.
Pagi ini aku menyadari kalau Ningrum benar-benar mencintaiku. Bahkan walau dia tahu kalau aku tidak pernah bisa memberinya harta benda, sepertinya ia masih akan mencintaiku. Sungguh beruntung. Tapi tetap saja aku merasa kalau diriku bukanlah suami yang berguna.
###
Hujan turun deras siang ini, sehingga aku tidak punya pilihan lain selain makan di kantin kantor. Lumayan bisa menghemat walau seleraku tidak terpuaskan oleh nasi goreng dan teh botolannya. Adik perempuanku yang mengaku kurang pandai memasak bahkan bisa memasak lebih enak dari pada tukang masak di kantin ini. Tekstur nasi gorengnya kering dan amat berminyak, membuatku kepayahan menelan setiap suap. Dinilai dari sepinya tempat ini pada jam dan situasi sekarang, sudah jelas bukan hanya aku yang berpikir seperti itu.
"Tino? Wah! Tumben banget makan di kantin. Biasanya makan di restoran padang atau dibekalin istri. Emang makanan kantin seenak itu, ya?"sapa suara ceria yang cukup familiar di telingaku.
"Lupa bawa payung,"kataku pada Aidan. Aku membiarkannya duduk di sampingku. "Kamu sendiri? Kenapa tiba-tiba makan di kantin?"
"Sama kayak kamu. Tadi Resti bilang soto babatnya lumayan. Nggak apa-apalah sesekali. Itung-itung penghematan."
Aku tersenyum. "Paling hematnya berapa, sih buat kamu, Dan. Beli diamond game aja kamu ngabisin setengah gaji."
"Aku nggak main game lagi. Di suruh jual akun sama calon istriku,"terangnya.
Aku menatap Aidan. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia baik-baik saja, tapi bagiku yang mengenalnya sejak 3 tahun lalu, ia terdengar seperti bukan dirinya. Aidan yang aku kenal tidak akan pernah meninggalkan gamenya demi perempuan. Apalagi sampai menjual akun yang susah payah ia kembangkan.
"Kayak bukan kamu aja, Dan,"celetukku sebelum melanjutkan makan.