Pada masa kekinian isu takfiri juga bersamaan kuatnya dengan isu kontemperorer yaitu ISIS yang termasuk dalam Hizbut Tahrir Hizbut Tahrir (HT) sendiri ialah gerakan Islam trans-nasional yang bergerak dalam dakwah dan politik. Didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin alNabhani pada tahun 1953 di Palestina.
Tujuan utamanya adalah melangsungkan kembali kehidupan Islam dan mengemban kembali dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, serta mengajak kaum muslim untuk kembali hidup secara islami dalam naungan khilāfah Islamiyah alā minhāj alnubuwwah. Untuk mencapai tujuan tersebut HT menerapkan langkah-langkah dakwahnya dalam tiga tahap:
1. Tatsqif (Pembinaan dan pengkaderan)
2. Tafa‟ul (Interaksi) dengan umat
3. Istilām al-hukmi (Menerima kekuasaan) dari umat.
Di Indonesia sendiri HT mendeklarasikan diri dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia atau yang kita kenal sebagai (HTI). HT memandang bahwa penegakan kembali sistem khilafah merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-menawar. Syaikh Abdul Qadim Zallum, sebagaimana dikutip Media Umat menegaskan bahwa:
“Meng-angkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini adalah perkara yang pasti, tidak ada pilihan di dalamnya dan tiada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban ini termasuk sebesar-besarnya maksiat yang (pelakunya) akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-sepedihnya”.
Di Indonesia, sebagaimana di belahan Dunia Islam lain, dewasa ini masih sering terjadi suatu kelompok umat Islam yang memandang umat Islam lainnya sebagai kafir atau sesat dikarenakan berbeda paham, berbeda aliran atau berbeda amaliahnya. Sejak awal sejarah Islam, pengkafiran (takfîr) atau penyesatan ini terjadi dilatari adanya klaim diri bahwa dirinyalah yang benar dan orang (kelompok) lain tidak benar (telah keluar atau sesat dari jalan yang benar).
Tampaknya, sepanjang klaim diri ini masih terjadi, apalagi kelompok pengklaim diri ini merasa memiliki kewenangan untuk menentukan benarsalahnya kelompok lain, maka pengkafiran atau penyesatan terhadap kelompok lain tidak akan terhindarkan di sepanjang sejarah umat Islam
Akibatnya, klaim kebenaran dan kafir-mengkafirkan atau sesat-menyesatkan tidak dapat dihindarkan, baik dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atau pun, sebaliknya, dari kelompok minoritas kepada kelompok mayoritas. Dalam konteks ke-Indonesiaan, menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia 2010 (di dalam Sajari, 2015:45) menyatakan bahwa:
“―Kafir-mengkafirkan atau sesat-menyesatkan itu terjadi pula di antara dua kelompok. Sesat-menyesatkan dari kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas dapat dilihat di kelompok yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dapat dilihat dari Fatwa MUI, seperti Fatwa tentang Aliran Ahmadiyah dan Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Fatwa tentang Ahmadiyah merupakan Fatwa yang ke-13 dan mengenai Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah merupakan Fatwa yang ke-14 yang dihimpun dalam Himpunan Fatwa MUI’’