Hal tersebut dalam sejarah kelam umat Muslim, sebagaimana dikemukakan oleh al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, bahwa sejak akhir masa shahabat pertikaian sengit diantara mereka menjadi buah bibir dan telah tercatat sebagai zaman al-fitan bagi umat Muslim hingga saat ini.
Sebab perdebatan diantara mereka tidak hanya dalam permasalahan halalharam dalam urusan dunia, melainkan sudah pada batas saling mengkafirkan antar sesama Muslim yang tidak jarang berakibat pada pertumpahan darah. Sesuatu Penerapan teks dengan apa adanya tanpa konteks dapat dikatakan merupakan pemerkosaan terhadap teks itu sendiri. Demikian pula, terlalu setia kepada konteks bukannya tidak berbahaya.
Salah-salah, yang terjadi justru adalah akal-akalan, dimana teks diakali agar sesuai dengan nafsu seseorang. Dalam kondisi seperti ini, pola pemikiran dengan memediasi teks yang amat otoritatif dengan konteks yang terus bergerak dinamis perlu terus ditumbuh kembangkan sepanjang sejarah keagamaan.
Dengan demikian, diharapkan akan muncul para pemikir dan ahli-ahli yang moderat, yang tidak terlalu “saklek”, namun tidak pula terlalu “liar” (Yasid, 2010). Sebagai contoh, sebut saja misalnya sekelompok kecil umat Muslim yang tergabung dalam barisan perang Shiffin bersama shahabat Ali bin Abi Thalib, yang membelot dari al-Imam al-Haq dan menyatakan bahwa ia dan para pengikunya akan selamanya di neraka karena menurut pandangan kelompok ini sang Imam dan pengikutnya telah melakukan dosa besar, keluar dari agama Allah Swt. dengan berhukum kepada selain dari hukum al-Qur’an dan Sunnah.1
Adanya sikap mudah mengafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak faktor, antara lain, cara pandang keagamaan yang sempit, fanatisme dan keangkuhan dalam beragama, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah.
Hal ini juga dijadikan berita dalam bentuk feature oleh jurnalis Republika (04 Mei 2011). Redaksi tersebut berjudul ―Tak Cukup Terjemah untuk Memahami Alquran “yang antara lain bernada sama yaitu ―…….Bukan terjemahnya yang dipersoalkan, melainkan pemahaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaan. Terjemah tidak salah tapi pemahamannya, kata Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag Abdul Djamil.
Wakil Ketua Lajnah Tashih Mushaf Alquran Ali Musthafa Ya‘qub berpandangan sama. Ia melihat, munculnya aksi terorisme bukan disebabkan oleh terjemahan Alquran, melainkan akibat nihilnya pemahaman Alquran.
Alquran tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh. Berbagai peranti penting menafsirkan Alquran seperti penguasaan bahasa Arab, ilmu tafsir, dan alat berijtihad lainnya, diabaikan. Akibatnya, ayat-ayat Alquran dipahami tidak utuh dan disesuaikan dengan maksud dan tujuan mereka saja. Quran dipahami sepotong-sepotong’’, kata dia.”
2.1 Definisi Takfir
Takfiri merupakan sebutan bagi seorang muslim yang menuduh muslim lainnya sebagai kafir dan murtad. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, istilah takfir sudah muncul sejak awal Islam khususnya pada zaman Nabi SAW dan berkembang sampai saat ini. Adapun yang dimaksud dengan istilah takfîr - bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan) dari kata kaffara-yukaffiru-takfîrâ- adalah (menganggap/memandang kafir) mengkufurkan, menuduh kufur atau mengkafirkan (Yunus, 1973 di dalam Sajari, 2015:47).
Secara bahasa kafir yang diambil dari akar kata tersebut menurut Hasan Muhammad Musa (di dalam Azra, 2008:348) di dalam Qamus Qur’ani mempunyai banyak pengertian yang saling berdekatan, seperti: menyembunyikan, menutupi, menghalangi, dinding, selubung, mengingkari dan menentang Takfir merupakan salah satu paket masalah yang pertama kali yang hangat didiskusikan oleh aliran kalam (teologi Islam).