Kekisruhan politik akibat pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan (thn 35 H.) hingga masa kekhalifahaan Ali bin Abi Thalib. Konflik ini mencapai klimaksnya dengan meletusnya perang Jamal (thn 35 H/656 M.) antara pasukan Ali dan pasukan yang di pimpin Aisyah, Thalhah, dan Zubair disusul dengan perang Siffin (thn 39 H/657 M.) antara Ali melawan pihak Muawiyah (Muhamad Said, 2015:21 di dalam Republika - Rabu, 29 April 2015). Kedua persitiwa perang ini secara tidak langsung telah melahirkan perpecahan dan pengelompokkan umat Islam menjadi tiga aliran mazhab fikih, kalam, dan tasawuf yaitu Khawarij, Syiah, dan Ahlusunnah.Â
Ketiga kelompok ini adalah hasil produk politik sejarah awal Islam pasca-wafatnya Nabi SAW, dan mereka tampil dengan argumen-argumen mereka yang kontroversial yang berdampak pada takfiri antara satu dengan lainnya.Â
Pada hakikat lain lahir beberapa tokoh takfiri yang bertujuan menjaga kemurnian ajaran agam islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah, Tauhid. Maka upaya pelayangan dan pelabelan status ‘kafir’ menjadi sesuatu yang layak di kalangan masyarakat pada waktu itu. Salah satu tokoh yang sanga berpengaruh dalam cukup terkenal hingga sekarang dan telah menjadi sebuah paham yang cukup berpengaruh dan terkenal mengenai pemikiran Islam.Â
Ia adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792 M). Pada masa mudanya, oleh Fazlurrahman disebutkan, ia adalah seorang yang menggeluti bidang tasawuf. Namun menjelang masa dewasanya, setelah begumul dengan karya-karya Ibnu Taymiyah, ia berubah haluan menjadi seorang puritan, penentang tertinggi bidang tersebut pada saat itu terutama di wilayah Arab. Ia menyerang kepercayaan sebagian masyarakat Muslim tentang karamah dan syafa’at Nabi dan para wali.2
2.2 Biografi Singkat dan Pemahaman Manhaj Takfir Muhammad bin Abdul Wahhab
Ia dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung ‘Uyainah yang terletak di wilayah Yamamah dan masih termasuk bagian dari Najd. Ia adalah orang terpandang pada masa itu, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan bahwa pemujaan terhadap spapun selain Allah Swt adalah penyembahan berhala, syirik. Muhammad merupakan seorang yang berasal dari kalangan terpelajar di antara masyarakat sekitarnya pada saat itu. Ayahnya, Abdul Wahhab bin Sulaiman, yang merupakan guru pertamanya adalah seorang hakim (al-qadi) bermadzhab Hanbali di wilayah ‘Uyaynah.Â
Sedangkan saudaranya, Sulaiman bin abdul Wahhab juga merupakan salah seorang ‘alim dan faqih di wilayah tersebut. Sehingga tidak mustahil, sejak usia dini yaitu sepuluh tahun ia telah menghapal al-Qur’an serta mempelajari berbagai bidang keilmuan, baik fiqih, hadis, tafsir, bahkan tasawuf.3Â
Oleh dari itu, keadaan inilah yang mempengaruhi jalan paham dan pergerakan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab yang terkenal berwatak keras sebagai salah seorang reformis dalam tanggapan, bahwa apa yang perlu diubah, supaya Islam menjadi maju dan bersih seperti umat terdahulu, bukanlah Islamnya melainkan pemahaman umatnya. Menurutnya, inovasi, perubahan, serta penambahan-penambahan dalam per-ibadatan telah merusak keimanan seorang muslim, sehingga tidak ada lagi yang mempraktikkan Islam yang murni. Apa yang perlu dilakukan kaum muslim adalah menutup rapat pengaruh Barat serta memurnikan ajaran serta ritual peribadatan seperti sedia kala pada masa Nabi Saw dan sahabat-sahabat beliau. Â
Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab ialah seorang pendakwah yang senantiasa membawa misi pemurnian ajaran Islam (purifikasi) dengan jargon tauhid. Pengikutnya dinamai (muwahiddin). Ia menjelaskan bahwa hal-hal yang dapat membatalkan keislaman seorang muslim ada sepuluh, yaitu:Â
a. Mengadakan persekutuan dalam beribadah kepada Allah (syirik).Â
b. Menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara antara seseorang dengan Allah, yang mana ia memohon atau berdoa serta meminta syafa’at kepadanya.Â