Memetik judul sebuah artikel di kompas.com hari ini (6/5/20), Jokowi: Mei, Kurva Pasien Covid-19 Harus Sudah Menurun, Apapun Caranya.
Kurva turun atau yang lebih dikenal dengan istilah melandaikan kurva, artinya jumlah kasus positif COVID-19, khususnya yang masuk ke rumah sakit, menurun. Dengan demikian, layanan kesehatan yang tersedia bisa memberikan pelayanan yang memadai. Bila kurva melancip, yang artinya jumlah pasien bertambah banyak, layanan kesehatan akan mendapat tekanan berlebihan sehingga tidak mampu memberi layanan yang memadai. Hasilnya, angka kematian meningkat.
Pak Presiden mengatakan harus turun, apapun caranya.
Cara yang tersedia sebetulnya cuma satu, yaitu merubah perilaku. Perilaku yang disasar pun sudah diketahui bersama, yaitu:
Pertama. Untuk menghindari paparan virus:
- Warga tetap di rumah dan hanya keluar untuk keperluan penting
- Kalau keluar rumah, pakai masker, menjaga jarak di atas 2 meter dengan siapapun dan tidak membuat kegiatan bersama (berkumpul)
Kedua, kalau tangan tidak sengaja menyentuh benda bervirus. Cegah virus di tangan masuk via mulut, hidung, mata (pintu masuk virus)
- Sering cuci tangan pakai sabun
- Jangan menyentuh muka
Ketiga, mengalahkan virus yang kadung masuk tubuh dengan imunitas/ kekebalan.
- Perbanyak makan buah sayur
- Teratur olah raga, istirahat cukup, berjemur di pagi hari, tidak merokok dll
Jadi tantangan utamanya adalah merubah perilaku. Untuk merubah perilaku caranya banyak tapi, apapun caranya akan terpulang ke dalam 3 strategi besar, yaitu 3Es: Enforcement, Engineering dan Education.
Enforcement itu merubah perilaku orang dengan hukuman, sangsi, penalti atau denda. Orang mau atau tidak mau melakukan sesuatu karena tidak mau dihukum. Tidak mudik karena tidak mau dedenda atau masuk penjara, misalnya.
Engineering itu membuat perilaku berubah secara terpaksa karena rekayasa lingkungan atau fisik. Misalnya, orang tidak bisa keluar kampung karena pintu masuk keluar kampung ditutup/ digembok kuat.
Education itu merubah perilaku dengan merubah pemahaman, sikap atau perasaan orang. Perilaku yang terbentuk sifatnya sukarela. Bukan karena hukuman. Bukan pula karena keterbatasan lingkungan atau fisik. Semisal, orang cuci tangan karena paham tangan bisa terkena virus karena saat keluar rumah menyentuh benda-benda yang bisa mengandung virus seperti waktu belanja, seperti dagangan yang dipilah pilih orang.
Ketiga strategi besar itu harus saling mendukung tapi mesti tetap dengan jatidirinya masing-masing. Saling mendukung bukan berarti kompromi.
Misalnya, kalau ingin menerapkan enforcement, maka terapkan secara murni dan konsekuen. Saya bukan ahli hukum tapi perasaaan, agar sukses penegakkan hukum itu harus jelas, tidak ambigu, lugas dan diterapkan tanpa tebang pilih.
Kalau ditetapkan warga tidak boleh keluar dari kota kabupatennya, ya sudah terapkan apa adanya. Jangan pilih kasih. Jangan bermain istilah. Jangan buat standar ganda.
Kalau ingin menerapkan edukasi, maka lakukan secara atraktif, kreatif dan inovatif sehingga orang tertarik mempelajari dan mempraktikkan saran-saran yang disampaikan.
Jangan berkompromi atau dengan kata lain, saling mereduksi. Misalnya, ingin intervensi enforcement tapi tidak ada hukuman atau sangsi yang jelas. Yang ada hanya himbuan, yang merupakan bentuk education (tapi membosankan). Atau kegiatannya edukasi tapi diisi dengan marah-marah dan ada  hukum menghukum seperti push-up (bentuk enforcement tapi nanggung).
Boleh saling mendukung walau mungkin ada keterbatasan. Semisal, enforcement dan education bisa dikawinkan. Education diarahkan untuk membangun pemahaman warga tentang risiko, cara pencegahan dan konsekuensi hukum atas ketidakpatuhan hukum. Lebih lanjut, education harus dapat membentuk mayoritas yang patuh dan menyisakan devian yang lebih sedikit, yang kemudian akan "disikat" dengan enforcement yang murni dan konsekuen.
Jadi, apapun caranya, yang penting konsekuen dengan jati diri masing-masing strategi. Â