Bukan hanya sulit berubah mengikuti pesan, ketidakmampuan mengakses percakapan karena urusan bahasa seperti ini (termasuk karena ramainya istilah yang asing atau istilah-istilah umum tapi dengan pengertian sulit dicerna) berisiko membuat orang teralienasi.
Saya teringat kuliah seorang dosen senior waktu kuliah komunikasi. Menurutnya, penting sekali menyetel tingkat abstraksi bahasa yang pas agar publik luas mudah memahami pesan kita. Untuk kebanyakan acara TV di Amerika (saat itu di awal 90an), tingkat berbahasa-nya adalah SD kelas 4.
Pilihan kata, kompleksitas kalimat, tingkat logika dan lain-lain tidak boleh melebihi kemampuan siswa SD kelas 4. Untuk memastikannya, mudah saja, pre test saja dulu. Seiring dengan waktu, standar mudah diikuti sebagai praktik yang lazim dengan common sense.
Dengan strategi itu, penerimaan dan pemahaman berada di cakupan khalayak secara maksimum. Dengan kata lain, mayoritas warga dapat dengan mudah mencerna pesan yang disampaikan.
Nah, untuk Indonesia, apakah komunikasi COVID-19 sudah disetel di tingkat berbahasa yang sesuai dengan kebanyakan warga? Di tingkat berapa ya? Jelas, jangan S1, S2, S3.