Pagi-pagi saya diajak diskusi komunikasi di FB. Yang disorot istilah-istilah baru bermunculan di media massa: PDP dan ODP.
Kalau mau melanjutkan terminologi baru, daftarnya bisa agak panjang. PDP, ODP, OTG, APD, social distancing, physical distancing, isolasi diri, karantina mandiri, karantina wilayah, lockdown, rapid test, protokol, kontak erat, transmisi lokal, PSBB dst.
Apa orang kita paham beragam istilah-istilah baru itu?
Beberapa waktu lalu saya sempat nonton Christiane Amanpour CNN mewawancari narasumber yang menyinggung angka kasus di US yang mulai plateau atau stagnan (meski tetap tinggi). Kata narasumbernya, "Saya pikir sekarang orang Amerika sudah mulai paham social distancing."
Orang Amerika saja dibilang baru-baru ini dibilang paham. Bagaimana dengan orang Indonesia?
Ambil contoh, apakah orang kita paham social distancing?
Buat yang tak mengenal Bahasa Inggris, yang jumlahnya tidak sedikit, rasanya sulit memahami istilah itu. Tapi untuk yang fasih Bahasa Inggris sekalipun, seperti contoh orang Amerika tadi, butuh waktu memahaminya.
Paham berbeda dengan sekedar pernah dengar atau bisa menyebut kembali. Untuk menjadi dorongan untuk mempraktikkan (perubahan perilaku), perlu pemahaman yang mendalam.
Paham akan arti kata adalah langkah awal. Berikutnya ada banyak hal yang harus dipahami, semisal:
- Bagaimana social distancing bisa mencegah seseorang dan keluarganya terkena COVID-19?
- Apa akibatnya bila orang-orang tidak melakukannya?
- Bersamaan dengan social distancing, apa lagi yang harus dilakukan untuk cegah penularan COVID-19? Masker? Bagaimana memakainya? Dll.
- Bagaimana melakukannya? Bagaimana melakukannya di situasi-situasi berbeda (misalnya, terpaksa belanja atau ke sarana kesehatan)?
- Dan lain-lain
Bila kebanyakan warga cuma pernah dengar istilah social distancing dan tahu artinya dalam Bahasa Indonesia, rasanya sulit berharap perilaku warga berubah.Â
Bukan hanya sulit berubah mengikuti pesan, ketidakmampuan mengakses percakapan karena urusan bahasa seperti ini (termasuk karena ramainya istilah yang asing atau istilah-istilah umum tapi dengan pengertian sulit dicerna) berisiko membuat orang teralienasi.
Saya teringat kuliah seorang dosen senior waktu kuliah komunikasi. Menurutnya, penting sekali menyetel tingkat abstraksi bahasa yang pas agar publik luas mudah memahami pesan kita. Untuk kebanyakan acara TV di Amerika (saat itu di awal 90an), tingkat berbahasa-nya adalah SD kelas 4.
Pilihan kata, kompleksitas kalimat, tingkat logika dan lain-lain tidak boleh melebihi kemampuan siswa SD kelas 4. Untuk memastikannya, mudah saja, pre test saja dulu. Seiring dengan waktu, standar mudah diikuti sebagai praktik yang lazim dengan common sense.
Dengan strategi itu, penerimaan dan pemahaman berada di cakupan khalayak secara maksimum. Dengan kata lain, mayoritas warga dapat dengan mudah mencerna pesan yang disampaikan.
Nah, untuk Indonesia, apakah komunikasi COVID-19 sudah disetel di tingkat berbahasa yang sesuai dengan kebanyakan warga? Di tingkat berapa ya? Jelas, jangan S1, S2, S3.