Mohon tunggu...
Junior Tralalaaa Trililiiii
Junior Tralalaaa Trililiiii Mohon Tunggu... lainnya -

nggak suka kodok. terlalu mirip sama ikon yang agli ituhhh...(nunjuk monster biru yg picek atas)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Para Penggenggam Masa Lalu

17 April 2016   19:26 Diperbarui: 17 April 2016   19:42 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pribadi"][/caption]Apa yang membuat sosok laki-laki itu jadi begitu spesial bagi Meisya? Sepertinya tak ada yang spesifik, kecuali mungkin sekedar faktor ‘kenangan’ dan chemistry yang nyambung. Perawakannya sedang saja, agak tinggi, agak kurus, tidak terlalu ‘berwarna’. Bicaranyapun cenderung pelan. Bergaya woles, kalau kata anak-anak muda jaman sekarang. Tapi apa boleh buat, selera Meisya ya memang hanya kepada yang ‘biasa-biasa saja’ seperti itu.

Pun sebaliknya Meisya di mata Arimbi. Perempuan yang hanya beberapa tahun lebih muda dari dirinya itu digolongkannya termasuk tipe standard. Kalau ukuran cantik, penilaiannya tentu subyektif tergantung selera si penilai, jadi bisa dikategorikan cantik, bisa juga tidak. Tapi yang jelas, akan banyak yang langsung sepakat kalau dibilang perempuan mandiri itu lumayan manis. Meskipun ekspresinya lebih sering terlihat jutek.

Ketika - seolah tanpa sengaja – pintu takdir terbuka dan mempertemukan keduanya melalui sebuah acara reuni akbar ex-SMA lebih dari setahun lalu, perasaan itu entah bagaimana mulai tumbuh di ladang hati Meisya dan Arimbi. Berawal dari kedekatan yang dipromosikan seorang teman, kemudian mulai saling mengagumi. Dan sekarang tentu saja sudah jatuh cinta.

Kalo boleh jujur, sebenarnya tak mudah bagi Meisya untuk menerima apa adanya begitu saja keadaan Arimbi. Laki-laki itu dijuluki Meisya sebagai “Si Penggenggam Masa Lalu”. Karena tak ringan mengayunkan kaki ke masa depan, padahal jelas-jelas sudah dikhianati dan ditinggalkan oleh masa lalu.

“Sebenarnya Abang sudah lelah, Mei. Ingin segera menepi. Di umur segini, sendirian mengurus segalanya, entah apa jadinya kedepan nanti,” Arimbi seringkali mengeluh.

“Lalu apa yang menghalangi, Bang. Mei juga sudah siap.”

“Masalahnya masih ada urusan anak-anak yang harus Abang prioritaskan. Abang susah melangkah. Mei tau sendiri kan, ibu mereka entah dimana…”

Selanjutnya Arimbi akan meneruskan keluhannya tentang proses perceraian di Pengadilan Agama yang belum selesai. Tentang uminya anak-anak yang selama setahun lebih belum pernah sekalipun menjenguk buah hati mereka yang dalam pengasuhan abinya. Tentang ketidaknyamanan menghadapi tekanan keluarga besar karena belum pernah ada riwayat perpisahan dalam keluarga. Juga tentang tidak terlalu mapannya kondisi perekonomian Arimbi saat ini, sampai perihal ketakutan-ketakutannya sendiri menghadapi kemungkinan kegagalan lagi di masa depan.

Kalau sudah begitu, terakhirnya malah Meisya sendiri yang akan jadi ‘korban’, terkena imbas kekhawatiran Arimbi berdasarkan pengalaman buruk masa lalunya: belum tentu nantinya Meisya sanggup setia mendampingi dalam keadaan Arimbi yang terpuruk, padahal ia sangat takut kalau harus mengulang lagi kesalahan yang sama.

Sebenarnya cukup bisa dimengerti.

Umi dari dua orang anak mereka, pendamping masa lalu Arimbi, meninggalkannya begitu saja. Bukan hanya Arimbi yang ditinggalkan, bahkan juga kedua buah hati mereka. Mengejar karir hingga ke negeri seberang, demikian menjadi alasan yang terdengar. Tapi konon, perpecahan dimulai dari berbagai kesalahpahaman dan ketidakpuasan yang berujung pada perselingkuhan masing-masing pihak. Hingga tak ada lagi harapan untuk kembali bersama merajut yang terkoyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun