Jumat, 13 Juni 2025, tercatat sebagai salah satu hari paling mencekam dalam sejarah konflik Timur Tengah modern.Â
Ketika dunia mulai menahan napas melihat ketegangan yang meningkat antara Iran dan Israel, langit Natanz kawasan pengayaan uranium strategis di Iran mendadak disapu ledakan.
Serangan udara Israel menjadi pemantik balasan cepat dari Iran, yang kemudian menghujani Tel Aviv dengan rudal balistik.Â
Tak hanya menjadi perhatian para pemimpin dunia, konflik ini juga menjadi topik hangat di media sosial Indonesia, menyedot emosi, opini, dan sikap dari berbagai kalangan.
Dari X (Twitter), TikTok, hingga Instagram dan Facebook, warganet Indonesia bersuara lantang. Mereka tak hanya menjadi penonton pasif, melainkan ikut membentuk narasi perang ini dari balik layar ponsel.
Dari dukungan terhadap Iran, hujatan terhadap Israel, hingga suara netral dan minoritas yang membela Israel, linimasa berubah menjadi ladang diskusi, debat, dan terkadang konflik maya.
Perang Rudal dan Narasi
Serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran di Natanz bukan sekadar serangan militer ia menjadi simbol peringatan, tantangan, bahkan provokasi.
Balasan Iran ke Tel Aviv pun tidak kalah simbolis menandai bahwa mereka tidak akan tinggal diam diserang.
Namun, perang ini tidak hanya terjadi di langit dan tanah, tetapi juga di ruang digital. Media sosial berubah menjadi medan tempur opini publik.
Di Indonesia, lonjakan tagar seperti #FreePalestine, #IranMelawan, dan #StopWar mencerminkan bagaimana perang ini memantik kesadaran bersama, khususnya dari kalangan muda.
Banyak dari mereka mengaitkan konflik ini dengan penindasan jangka panjang terhadap Palestina, sehingga dukungan terhadap Iran menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni Israel dan sekutunya.
Dominasi Sentimen Pro-Iran
Dari hasil pemantauan sederhana saya terhadap ratusan komentar dan unggahan publik, terlihat jelas bahwa mayoritas netizen Indonesia berpihak pada Iran.
Iran dipandang sebagai pihak yang membela diri atas agresi militer Israel yang selama ini dikenal sebagai aktor dominan dan seringkali represif terhadap tetangganya.
Salah satu komentar populer berbunyi:Â
"Israel sudah terlalu lama merasa kebal. Saatnya mereka merasakan balasan yang sepadan. Hormat untuk Iran!"
Ada pula komentar yang menyandingkan Iran dengan keberanian:
"Bukan soal Syiah atau Sunni, ini soal siapa yang berani berdiri melawan ketidakadilan. Hari ini, Iran jadi suara yang menggema dari dunia Islam."
Sentimen ini diperkuat dengan banyaknya akun yang membagikan cuplikan serangan balasan Iran sebagai 'kemenangan moral' atas Israel, meskipun dampaknya belum tentu signifikan secara militer.
Dukungan Hingga Kecaman Kepada Israel
Di sisi lain, Israel masih memiliki pembela, meski jumlahnya minoritas. Beberapa pengguna media sosial menyuarakan bahwa Israel hanya membela diri dari ancaman nuklir Iran, dan bahwa dunia harus berhati-hati terhadap potensi senjata pemusnah massal.
Namun, suara ini kerap dibalas dengan nada tajam, bahkan dengan cap sebagai "penjilat Barat" atau "buta sejarah".
Tidak sedikit warganet yang langsung menyerang balik akun-akun tersebut dengan narasi sejarah penindasan Israel atas Palestina, bahkan menyandingkan tindakan Israel dengan apartheid modern.
Menariknya, ada juga sebagian warganet yang mencoba mengambil posisi netral, menyerukan perdamaian dan menolak berpihak secara mutlak.
"Perang tidak akan membawa solusi. Iran dan Israel perlu duduk bersama. Yang menderita adalah warga sipil."
Kalimat seperti ini hadir dari kalangan yang cenderung moderat, meskipun suaranya tenggelam oleh gelombang emosi publik yang sudah lama jenuh dengan konflik yang tak kunjung selesai.
Bahkan akun Instagram resmi Israel juga menyampaikan sebuah pesan "Jangan salah: mereka yang menyakiti rakyat Israel akan membayar akibatnya"
Alasan Dukungan Terhadap Iran Menguat
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari panjangnya sejarah kejahatan kemanusiaan yang dikaitkan dengan Israel, terutama terhadap Palestina.
Bagi banyak orang Indonesia, dukungan terhadap Iran bukan sekadar dukungan terhadap negara, tapi dukungan terhadap simbol perlawanan.
Iran, meskipun dalam banyak hal dikritik, dianggap berani menantang status quo dan menolak tunduk pada tekanan geopolitik Barat.
Ini membuatnya menjadi pahlawan dalam narasi perjuangan yang selama ini dipupuk di benak publik, terutama generasi muda Muslim yang akrab dengan isu Palestina sejak kecil.
Selain itu, ada beberapa influencer dan tokoh publik yang terang-terangan menunjukkan dukungan kepada Iran.
Sebut saja sejumlah ulama, aktivis kemanusiaan, dan tokoh muda digital yang memiliki banyak pengikut, menyuarakan kemarahan mereka atas tindakan Israel dan memberikan simpati terhadap rakyat Iran.
Polarisasi Digital dan Ancaman Disinformasi
Namun, media sosial tidak hanya menampilkan opini jujur. Ia juga menjadi tempat subur bagi disinformasi dan polarisasi.
Banyak gambar dan video yang dibagikan ternyata tidak relevan atau sudah lama beredar, tetapi tetap digunakan untuk mengobarkan emosi.
Misalnya, cuplikan rudal jatuh di Tel Aviv disandingkan dengan narasi-narasi penuh bumbu heroisme yang tidak diverifikasi.
Di sisi lain, propaganda pro-Israel juga menyebar melalui akun-akun anonim yang menyebut Iran sebagai negara teroris atau sponsor kekerasan.
Fenomena ini membuat masyarakat perlu lebih kritis dalam mengonsumsi informasi, terutama dalam konteks konflik yang melibatkan sejarah panjang, kepentingan global, dan narasi yang saling bertolak belakang.
Perang Belum Usai Sentimen Semakin Membara
Meski Israel dan Iran belum secara resmi menyatakan perang total, eskalasi atau peningkatan ketegangan ini menunjukkan bahwa keduanya tidak akan mundur dalam waktu dekat.
Masing-masing pihak merasa memiliki legitimasi moral dan politik untuk melakukan pembalasan.
Di tengah ketegangan itu, media sosial Indonesia terus menjadi cermin dari kegelisahan publik global.
Netizen tidak lagi hanya menjadi konsumen berita, tapi produsen opini yang bisa mempengaruhi narasi besar dunia.
Pertanyaannya, apakah suara-suara ini bisa membentuk solidaritas yang bermakna atau justru memperdalam polarisasi?
Penutup
Hingga tulisan ini dibuat, perang antara Israel dan Iran masih terus bergulir. Rudal mungkin akan berhenti terbang suatu hari, tetapi luka, dendam, dan opini publik akan bertahan lebih lama.
Di Indonesia, medan media sosial telah menjelma menjadi ruang batin publik yang menampung harapan, kemarahan, dan solidaritas.
Namun di balik semua itu, perlu diingat bahwa dukungan yang bijak bukan hanya tentang siapa yang kita bela, tapi bagaimana kita berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI