Saya hanya manusia biasa. Bukan lulusan luar negeri, tidak punya sederet sertifikasi mahal, dan tentu saja bukan tokoh fiksi dengan segudang kemampuan.
Saya hanya ingin menulis, melihat dari sisi lain proses rekrutmen yang selama ini lebih sering dibicarakan dari atas ke bawah, bukan dari sisi kemanusiaan.
Dunia rekrutmen kadang seperti memang unik. Di balik pengumuman "kami sedang mencari talenta terbaik," sering kali tersembunyi ekspektasi yang tak masuk akal.
HRD ingin yang cerdas, komunikatif, tahan tekanan, multitasking, berpenampilan menarik, menguasai lima software, dan fasih dua bahasa.
Lalu user (atasan) ingin kandidat yang bisa langsung kerja tanpa perlu dilatih, cepat tanggap, cocok dengan budaya tim, dan siap kerja lembur. Singkatnya adalah mereka ingin manusia setengah dewa.
Tentu tidak salah punya standar. Perusahaan punya hak memilih. Tapi yang kerap terlupakan adalah yang melamar itu manusia biasa, bukan karakter video game yang bisa diatur skill-nya sesuka hati.
Dalam praktiknya, proses rekrutmen sering kali lebih didominasi oleh harapan, bukan kebutuhan. HRD menyusun kualifikasi berdasarkan template ideal, kadang tanpa diskusi mendalam dengan user.
User pun, dalam beberapa kasus, hanya menyerahkan kebutuhan dengan kalimat: "Pokoknya yang siap pakai dan nggak banyak tanya." Hasilnya? Banyak lowongan dengan daftar kualifikasi yang menjulang tinggi tapi tidak selaras dengan realita di lapangan.
Contohnya, sebuah posisi entry level yang mencantumkan syarat "minimal pengalaman kerja 2 tahun". Atau posisi admin yang mengharuskan kemampuan desain grafis, coding dasar, dan kemampuan analisis data lanjutan.
Bukannya efisien, ini malah menjauhkan kandidat potensial yang sesungguhnya cocok tapi terintimidasi oleh daftar kriteria superkomplit.
Kandidat Bukan Sekedar CV
HRD dan user kadang terjebak dalam penilaian dokumen. CV dianggap segalanya. Jika tampilannya tidak menarik atau pengalaman tidak memenuhi syarat, langsung dieliminasi.