Mohon tunggu...
Nova Rio Redondo
Nova Rio Redondo Mohon Tunggu... #Nomine Best Student Kompasiana Award 2022

Mahasiswa Teknologi Informasi UIN Walisongo Semarang. Personal Blog: novariout.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cancel Culture vs Kedewasaan Digital

11 Februari 2025   22:15 Diperbarui: 13 Februari 2025   21:03 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cancel culture.(iStockphoto/tumsasedgars via Kompas.com)

Welcome to Indonesia, di mana kesalahan kecil bisa berujung pada gelombang hujatan yang tak berkesudahan. Sepertinya hal semacam itu tidak terjadi di Indonesia saja, tapi terjadi juga di belahan dunia lain.

Cancel culture atau budaya pembatalan telah menjadi fenomena global yang juga marak terjadi di Indonesia. Ketika seorang figur publik, influencer, atau bahkan orang biasa melakukan kesalahan, netizen tak ragu untuk menghukumnya secara massal.

Bahkan saat menghujat di media sosial, semua akun dari penghujat keluar meramaikan hujatan, ada yang jaga image dengan menghujat menggunakan akun kedua, ada juga yang akun kesatu sampe ke sepuluhnya turun hanya untuk menghakimi.

Namun, apakah cancel culture ini benar-benar menjadi alat keadilan, atau justru cerminan dari kurangnya kedewasaan digital masyarakat global dan juga Indonesia? 

Ilustration: Cancel Culture | sbs.com.au
Ilustration: Cancel Culture | sbs.com.au

Apa itu Cancel Culture?

Dilansir dari Pew Research Center, Cancel Culture adalah metode untuk menarik dukungan terhadap tokoh masyarakat atau perusahaan. Hal ini juga dapat dianggap digunakan sebagai bentuk tindakan mempermalukan secara online di platform media sosial.

Cancel culture merujuk pada tindakan memboikot seseorang atau suatu entitas karena dianggap melakukan kesalahan moral atau perilaku yang tidak dapat diterima oleh publik.

Di Indonesia, fenomena ini semakin sering terjadi. Yang viral akhir-akhir ini adalah tentang pemuka agama yang bersikap kurang sopan hingga politisi yang kedapatan berbohong. Fenomena ini mengajarkan kita bahwa di era digital, segala hal bisa menjadi bumerang.

Cancel Culture di Indonesia Seperti Hukum Rimba

Ada dua sisi dalam melihat cancel culture. Di satu sisi, praktik ini bisa menjadi alat keadilan, memberikan konsekuensi bagi mereka yang bertindak tidak pantas.

Namun, di sisi lain, cancel culture sering kali berubah menjadi ajang hukuman tanpa ampun. Netizen bisa dengan mudah membombardir seseorang dengan hinaan, doxing (menyebarluaskan data pribadi), atau bahkan ancaman kekerasan.

Alih-alih menciptakan lingkungan yang lebih adil, cancel culture bisa berubah menjadi hukum rimba di dunia maya, di mana opini mayoritas menjadi kebenaran mutlak.

Kasus-kasus cancel culture di Indonesia memperlihatkan bahwa dalam banyak kejadian, orang-orang yang dihukum secara sosial ini tidak selalu mendapatkan kesempatan untuk membela diri.

Cancel Culture di Media Sosial | saugusscroll.org
Cancel Culture di Media Sosial | saugusscroll.org

Kedewasaan Digital Netizen

Kedewasaan digital adalah kemampuan untuk berpikir kritis, bertanggung jawab, dan bijak dalam menggunakan media sosial. Kurang lebih begitulah rangkumannya di internet.

Sayangnya di Indonesia banyak netizen yang masih terjebak dalam budaya reaktif tanpa berpikir panjang. Salah satu faktornya karena netizen Indonesia mudahterprovokasi.

Netizen Indonesia sering kali bereaksi secara emosional terhadap sebuah berita tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Hoaks dan informasi yang dipelintir sering kali menjadi bahan bakar cancel culture.

Tidak ada ruang untuk edukasi dalam banyak kasus. Orang yang melakukan kesalahan langsung 'dihabisi' di media sosial tanpa diberikan kesempatan untuk belajar atau memperbaiki diri. Pokoknya digas terus.

Ditambah lagi anonimitas yang berlebihan. Media sosial memberikan anonimitas yang membuat banyak orang merasa bebas untuk berkata-kata tanpa konsekuensi. Sering kali, pengguna yang tidak bertanggung jawab menggunakan akun palsu untuk menyerang orang lain.

Realistiskah Menghilangkan Cancel Culture?

Menghapus cancel culture sepenuhnya mungkin tidak realistis, mengingat budaya digital sudah terbentuk demikian.

Sebelum terburu-buru ikut meng-cancel seseorang, penting untuk memastikan bahwa informasi yang beredar benar adanya dan bukan sekadar hoaks atau misinformasi.

Cancel culture sering kali disertai dengan cyberbullying. Penghinaan dan serangan pribadi justru membuat dunia digital semakin beracun. Hal ini membuat cancel culture semakin susah untuk dihilangkan.

Untuk mengurangi cancel culture, pendidikan etika digital harus mulai diajarkan sejak usia muda agar generasi berikutnya dapat menggunakan media sosial dengan lebih bijak.

Kesimpulan

Cancel culture di Indonesia masih menjadi perdebatan panjang. Di satu sisi, ini bisa menjadi alat untuk menegakkan keadilan sosial, tetapi di sisi lain, tanpa kedewasaan digital, cancel culture bisa berubah menjadi ajang perundungan massal.

Sebelum ikut mengcancel seseorang, tanyakan: apakah aku ingin diperlakukan seperti ini jika aku melakukan kesalahan?

Cancel culture adalah api. Bisa menerangi ketidakadilan, atau justru membakar tanpa kendali. Netizen haus keadilan, tapi sering lupa kalau keadilan tanpa empati hanyalah hukuman massal.

Menghakimi itu mudah, tapi memahami membutuhkan kedewasaan. See You, Adios.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun