Alih-alih menciptakan lingkungan yang lebih adil, cancel culture bisa berubah menjadi hukum rimba di dunia maya, di mana opini mayoritas menjadi kebenaran mutlak.
Kasus-kasus cancel culture di Indonesia memperlihatkan bahwa dalam banyak kejadian, orang-orang yang dihukum secara sosial ini tidak selalu mendapatkan kesempatan untuk membela diri.
Kedewasaan Digital Netizen
Kedewasaan digital adalah kemampuan untuk berpikir kritis, bertanggung jawab, dan bijak dalam menggunakan media sosial. Kurang lebih begitulah rangkumannya di internet.
Sayangnya di Indonesia banyak netizen yang masih terjebak dalam budaya reaktif tanpa berpikir panjang. Salah satu faktornya karena netizen Indonesia mudahterprovokasi.
Netizen Indonesia sering kali bereaksi secara emosional terhadap sebuah berita tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Hoaks dan informasi yang dipelintir sering kali menjadi bahan bakar cancel culture.
Tidak ada ruang untuk edukasi dalam banyak kasus. Orang yang melakukan kesalahan langsung 'dihabisi' di media sosial tanpa diberikan kesempatan untuk belajar atau memperbaiki diri. Pokoknya digas terus.
Ditambah lagi anonimitas yang berlebihan. Media sosial memberikan anonimitas yang membuat banyak orang merasa bebas untuk berkata-kata tanpa konsekuensi. Sering kali, pengguna yang tidak bertanggung jawab menggunakan akun palsu untuk menyerang orang lain.
Realistiskah Menghilangkan Cancel Culture?
Menghapus cancel culture sepenuhnya mungkin tidak realistis, mengingat budaya digital sudah terbentuk demikian.
Sebelum terburu-buru ikut meng-cancel seseorang, penting untuk memastikan bahwa informasi yang beredar benar adanya dan bukan sekadar hoaks atau misinformasi.
Cancel culture sering kali disertai dengan cyberbullying. Penghinaan dan serangan pribadi justru membuat dunia digital semakin beracun. Hal ini membuat cancel culture semakin susah untuk dihilangkan.