Saya masih ingat ketika menonton acara debat di televisi yang dihadiri para pejabat mewakili partai-partai politik. Satu hal yang saya ingat adalah cara mereka beretorika memang sepertinya sudah jadi ciri khas pejabat, berputar-putar meski sebenarnya jawaban yang diinginkan si penanya hanya jawaban "Ya" atau "Tidak".
Apalagi jika sudah bicara tentang rakyat, keadilan, kemakmuran, Pancasila rasanya mereka paling memahami substansinya. Tapi ketika bicara tentang kepentingannya atau menyangkut partainya, mereka akan sangat berhati-hati.
Tapi dalam kasus yang belakangan menjadi polemik berkepanjangan, sampai memancing demo dari tanggal 25 Agustus 2025 hingga sekarang menunjukkan bahwa perilaku mereka ternyata justru tidak Pancasilais, tidak bisa memilih dan memilah ucapannya ketika beretorika.
Sebenarnya bukan kali ini saja pejabat kita bicara atau bertindak tidak peka keadaan atau memancing polemik.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik kembali disuguhkan serangkaian pernyataan kontroversial dari para pejabat negara seperti saling unjuk kuasa. Bahkan di tengah penantian menunggu respons pemerintah dan DPR terkait 17+8 tuntutan rakyat, perhatian kita justru kembali teralihkan oleh ucapan kontroversial dari Menteri Agama Nasaruddin Umar soal guru.
Ini benar-benar runyam dan fatal. Pola komunikasi yang kerap menimbulkan kegaduhan ini memicu pertanyaan mendasar, sebenarnya bagaimana kualitas pejabat kita dalam menyampaikan pesan maupun kebijakan yang telah mereka kerjakan?
Padahal para pejabat harusnya menyadari bahwa di era ketika komunikasi meninggalkan jejak digital yang tidak mudah dihapus, tapi justru sangat mudah menyebar dan menebar kebencian harus menjadi ingatan yang tidak mudah dilupakan.
Para pejabat tidak pernah mau belajar dari pengalaman rekan-rekan mereka. Bahkan jejak digital sebelum mereka naik ke kursi kekuasaan pun dengan mudah dimunculkan lagi dan langsung menjadi polemik.
Dalam beberapa acara selama demo-demo besar berlangsung belakangan ini, sangat terlihat jika para pejabat di Aceh berusaha menjaga dan berhati-hati ketika tampil di ruang publik. Bahkan dalam acara Festival Literasi Aceh 2025 saja, pejabat sampai menitipkan pesan kepada koleganya yang hadir untuk menjaga ucapan, karena lidah itu seperti harimau katanya. Begitu juga kepada kami yang hadir, diharapkan untuk tidak mudah terprovokasi, memilih dan memilah tindakan dan ucapan. Padahal pesan itu semestinya lebih baik ditujukan kepada para pejabat yang harusnya berhati-hati ketika berbicara di ruang publik.
Dengan kepiawaian mereka selama berkampanye, seharusnya tidak perlu kita mengukur dan menilai, berapa skor yang harus diberikan kepada mereka dalam urusan kemampuan public speaking pejabat kita. Apalagi sampai dilatih lagi caranya public speaking agar dampaknya tidak menimbulkan efek domino seperti sekarang ini.
Tapi jika kita memang harus memberi skor untuk kemampuan public speaking pejabat kita, skala 1-10 rasanya tidak cukup. Kita harusnya menggunakan kriteria yang lebih holistik.
Misalnya skor 1-4 menunjukkan ketidakmampuan berempati, sering menggunakan diksi yang tidak peka, dan tidak mampu mengendalikan narasi. Skor 5-7 menunjukkan kemampuan komunikasi standar, namun masih rentan salah ucap atau kurang strategis. Skor 8-10 adalah level ideal, di mana pejabat mampu berkomunikasi dengan empatik, persuasif, dan mampu meredam potensi konflik.
Sayangnya, banyak pejabat kita saat ini berada di rentang skor 5-7, bahkan tak jarang terjebak di bawahnya. Mereka sering kali lebih fokus pada retorika politik daripada substansi, dan tidak jarang, pesan yang disampaikan justru merusak reputasi mereka sendiri dan institusi yang diwakili.
Tapi yang membuat saya tidak habis pikir, justru dengan kecerdasannya itu mereka seolah rela agar terlihat bodoh. Seperti sulit memahami substansi pertanyaan ketika sudah menyangkut kepentingan kelompok atau dirinya sendiri secara personal. Bahkan untuk sekedar menjawab "Ya" atau "Tidak" rasanya kok begitu sulit.