Menurut saya akan jauh lebih menarik jika memang berniat berbisnis bagi pemula atau newbie, mainnya solo dulu--jadi solopreneur saja. Mengapa? Meskipun terlihat sederhana join bisnis bareng teman, bahkan saudara bisa berbuntut jelek jika kita tidak serius mempersiapkannya sejak awal.
Ketika bisnis baru berjalan seumur jagung dan belum menunjukkan tumpukan cuan yang material, mungkin belum menjadi daya tarik. Orang yang join bisnis atau bermitra mungkin akan bekerja sesuai porsi. Ada yang mengelola, ada yang bertanggungjawab promosi dan ada yang bertanggungjawab di bidang lainnya. Intinya masing-masing orang bekerja menurut porsinya.
Namun seiring berjalan waktu, bisa saja timbul masalah. Keuangan yang tidak transparan karena laporannya yang terlambat atau tidak jelas. Dokumen pendukung laporan keuangan tidak lengkap. Atau ada yang merasa porsi pekerjaannya lebih banyak dari lainnya tapi bagi hasil usahanya sama.
Apa lagi ketika ketidakpuasan berujung protes dan hilangnya kepercayaan. Join bisnis menjadi malapetaka jadinya. Padahal diniatkan gar dari awal semakin banyak dikelola akan semakin bisa berjalan baik, karena bisa saling mengingatkan.
Belajar dari Pengalaman
Barangkali cerita dari seorang teman ini bisa menjadi contoh sekaligus ilustrasi langsung. Teman yang bekerja di lembaga swasta suatu hari memutuskan mundur dan mengajak dua orang temannya untuk menjalankan usaha bersama. Seorang ditunjuk sebagai pelaksana, lainnya bekerja untuk promo dan keuangan. Ketika timbul masalah di kemudian hari karena bisnis yang makin membesar.
Salah seorang dari rekanan memutuskan untuk memperbesar usaha tanpa meminta pertimbangan karena rekanan lain sibuk dan tidak lagi peduli dengan kerja sama tersebut. Intinya mereka merasa cukup menjalankan bisnis yang ada saja, dan keberatan jika harus menyisihkan keuntungan untuk pengembangan usaha. Padahal menurut salah satu dari mereka pasar membutuhkan perkembangan yang berbeda dari bisnis mereka yang ada tersebut.
Ketika bisnis dikelola salah seorang yang aktif, bisnisnya membesar, kemudian timbul lah gugatan untuk membagi keuntungan secara merata karena dasar perjanjian awalnya begitu. Tentu saja yang merasa bekerja lebih keras merasa ingin mendapatkan bagian yang lebih besar. Perbedaan cara berpikir itu menyebabkan mereka akhirnya berkonflik.
Usaha yang dikelola bersama kemudian diambil alih, dan dua rekanan itu berpisah. Salah satu dari mereka mendirikan bengkel dengan sistem yang berbeda-buka paling pagi dan tutup paling malam. Kerja sama dan persahabatan mereka akhirnya juga bubar gara-gara bisnis tersebut.
Solopreneur, Sekolah Bisnis Terbaik Adalah Pengalaman Sendiri
Salah seorang keponakan saya Nia (29 tahun) menjalankan bisnis parcel dan hadiah wisuda. Dimulai dari kamar rumahnya yang sederhana, ia memulai jurus marketingnya. Orderannya di mulai dari bahan yang tersedia dan bisa didapatkannya di kota kecilnya. Pelan tapi pasti orderan terus meningkat.
Meskipun tanpa bantuan pekerja ia bisa menyelesaikan semua orderan. Ketika makin berkembang, ia mempekerjakan adiknya sendiri sebagai pekerja tambahan. Sedangkan keuangan dan belanja kebutuhan dilakukannya sendiri.
Kini ia bisa menyewa ruko kecil satu lantai. Meski tidak berada di pinggiran jalan namun karena bisnisnya dijalankan secara offline dan online, maka orderan tetap masuk. dari tak ada kantor, tak ada tim, apalagi investor, hanya satu orang yang menjalankan segalanya dari produksi, pemasaran, keuangan, hingga pengemasan bisnis itu bisa bertumbuh dengan baik.
Ketika aku tanyakan alasannya, menurutnya lebih baik ia bersabar, menahan diri untuk memaksimalkan potensi yang ada saja daripada melakukan lompatan cepat tapi ia tidak bisa mengantisipasinya. Ia bukan pengusaha besar, belum. Tapi ia tahu ke mana arah bisnisnya akan berjalan. Saya kira itu poin pentingnya saat kita memulai bisnis dari kecil.
Memang sekarang ini makin banyak godaan dengan mudahnya kita melakukan pinjaman. Bahkan rayuan dari orang atau platform yang menawarkan bantuan juga gencar. Di saat ketika banyak orang tergiur untuk "cepat besar", menjadi solopreneur sering dianggap jalan yang terlalu lambat. Padahal, dalam banyak kasus, justru dari langkah kecil inilah pondasi bisnis yang kokoh dibangun.
Berbisnis sendirian, tanpa karyawan, tanpa mitra, apalagi utang bank, memang tidak mudah. Tapi justru di sanalah ruang belajar terbuka, bagaimana membangun disiplin, kreativitas, kontrol biaya, dan mental bertahan di saat sulit.
“Bisnis itu bukan soal seberapa cepat naik, tapi seberapa kuat berdiri saat badai datang,” ujar Rhenald Kasali, pakar manajemen perubahan dari Universitas Indonesia. Ia menekankan pentingnya “mental pengusaha” yang tahan banting, bukan hanya “mental dagang” yang hanya ingin cepat untung.
Memulai dari nol, hanya dengan modal yang dimiliki dan potensi sumber daya yang ada, sebenarnya memberikan keuntungan besar bagi kita selaku orang yang menjalankan bisnisnya sendiri. selain lebih fleksibilitas dan pemahaman penuh atas proses bisnis. Kita juga jadi tahu soal bahan baku datang dari mana, siapa pelanggan pertama, dan berapa sebenarnya biaya operasional harian.
Saat belum punya pengalaman, justru meminjam uang atau langsung menggandeng mitra bisnis bisa jadi jebakan. Bukan karena niatnya salah, tapi karena tanpa pengalaman dan sistem yang mapan, semua itu bisa berujung pada kerugian yang tidak dipahami dari mana datangnya. Orang sering berpikir dengan modal besar, usaha akan cepat membesar dan margin laba juga akan berlipat.
Tapi pernahkah kita memikirkan seberapa kita siap dengan perubahan itu, seberapa kuat kita bisa menghandel manajemen dan mengatur orang-orang di bawah kita dan berapa besar risikonya jika gagal?. Bukan berarti kita harus takur gagal sepenuhnya. Namanya bisnis memang penuh risiko, makanya diperlukan kerja yang tidak main-main.
“Lebih baik belajar rugi dari kesalahan sendiri ketimbang dari konflik dengan mitra,” ungkap Andri Setiawan, mentor bisnis kecil dan pemilik brand makanan kemasan rumahan. “Karena saat sendiri, kita bisa lebih leluasa memperbaiki arah. Tapi kalau sudah terikat dengan banyak pihak, manuver jadi terbatas.”
Mau buka usaha, cari modalnya dulu yang banyak kalau tidak mau gagal!. Benarkah begitu? banyak dari kita atau orang yang baru memulai bisnis berpikir begitu. Terlalu banyak orang mengira bahwa uang adalah satu-satunya syarat memulai bisnis. Padahal kenyataannya, manajemen yang buruk bisa menghabiskan modal berapa pun.
Sebaliknya, manajemen yang baik, meski dengan modal terbatas, bisa membuat bisnis bertahan bahkan tumbuh. Disiplin mencatat keuangan, merencanakan produksi, memahami pasar, dan mengukur risiko menjadi kunci penting dalam perjalanan awal sebagai solopreneur.
Termasuk sabar dalam menjalani proses juga bukan berarti lamban. Itu berarti sadar kapasitas, tidak memaksakan ekspansi sebelum waktunya, dan tidak tergoda untuk ikut-ikutan tren tanpa strategi.
Pelan tapi pasti dan penuh pertimbangan, setelah sistem internal bisnis mulai stabil, pelanggan mulai loyal, dan cashflow mulai sehat, barulah kita bicara soal pertumbuhan. Di titik ini, ekspansi bukan lagi obsesi, tapi kebutuhan alami. Dan keputusan untuk menggandeng mitra, memperluas pasar, atau bahkan meminjam dana eksternal bisa dilakukan dengan lebih bijak.
Dan jika memang membutuhkan pendanaan sebagai pendukung akan lebih bijak jika kita memilih program yang aman. Seperti tabungan emas salah satunya yang dijalankan oleh Pegadaian. Mengapa? Menabung keuntungan bisnis yang sedang berjalan pelan bagi seorang pemula ke dalam tabungan emas akan menjadi cara aman menabung sekaligus menjadi investasi yang aman dari gangguan inflasi.
Dan ketika kita membutuhkan permodalan dengan cepat kita bisa mengadaikan emas kita, dan kita tidak perlu kuatir akan kehilangan asset. Ini adalah cara bijak menabung bagi seorang pebisnis pemula-yang solopreneur.
Dan kelak jika memang memutuskan harus bermitra, jangan lupa segala sesuatunya harus ada hitam putihnya, sekalipun dengan teman atau saudara sendiri agar secara legalitas mudah diselesaikan jika terjadi konflik--sesuatu yang bisa saja tidak pernah kita duga sama sekali.
“Wirausaha yang matang akan mengembangkan bisnis seperti menanam pohon—tidak tergesa, tapi terus bertumbuh,” kata Yunus Hasyim, pengamat UMKM dan pelatih kewirausahaan. Ia menyarankan pelaku bisnis baru untuk menjalani fase-fase wirausaha seperti tahap perkembangan manusia: belajar merangkak dulu, baru berjalan, lalu berlari.
Intinya bahwa menurut saya menjadi solopreneur adalah jalan yang mestinya harus kita jadikan pembelajaran sebelum melangkah jauh. Ketika kita menjalankan semuanya sendirian, menyiapkan produk hingga tengah malam. Tidak ada investor yang bertepuk tangan saat kita berhasil menjual 10 produk pertama. Tapi dari kesabaran itu, lahir karakter.
Dan dari karakter itulah, lahir bisnis yang tahan uji. saya meyakininya ketika akhirnya membuktikannya sendiri, berbisnis dari rumah-produk homemade.
Sebenarnya kita harus yakin dan percaya, agar tidak takut memulai sendiri. Jangan takut berjalan perlahan karena di dunia bisnis, yang bertahan bukan yang paling cepat, tapi yang paling siap. Dan kesiapan itu, sering kali, hanya bisa kita dapatkan karena tempaan ketika kita memulai dari bawah—dengan penuh kesabaran, dan komitmen untuk terus belajar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI