Seorang teman dari Sumatera merasa terkejut ketika berkunjung ke kota-kota besar di Jawa untuk pertama kalinya. Ia merasa takjub ketika tahu bahwa begitu banyak jenis makanan tradisional yang ada di pasaran yang diolah hanya dari satu jenis bahan tertentu. Tempe, tahu, ubi, memiliki ratusan varian makanan.
Ia berpikir, mengapa di Sumatera variannya tidak sebanyak di kota-kota besar tersebut. Mungkin kalau kita katakan jawabannya adalah inovasi, terlalu klise. Seperti membayangkan inovasi teknologi yang berkembang seiring kebutuhan orang untuk mendapat kemudahan. Tapi sebenarnya itu juga yang terjadi dalam dunia kuliner.
Semakin banyak orang menjajakan atau menjual produk yang sama, maka persaingan akan semakin ketat---persaingan sempurna. Bagaimana agar keluar dari jebakan itu, orang lantas mulai memikirkan gagasan, ide dan berbagai inovasi baru agar bisa menciptakan jenis kuliner baru yang belum dilihat orang. Sehingga ia bisa memiliki keunggulan kompetitif dari segi jenis produknya. Dan berpeluang meraih cuan lebih besar, karena persaingan itu juga menciptakan peluang.
Begitulah realitasnya. Mungkin benar kata orang kalau orang kejepit biasanya mikirnya jadi lebih kreatif. Jadi bukan cuma pakar ekonomi Peter F. Drucker yang bilang, dalam turbulensi ada peluang. Banyak orang mengalaminya dan bisa bangkit dalam keterpurukan situasi ekonomi sulit sekarang ini.
Kondisi keterbatasan seperti ini sering kali memaksa seseorang untuk berpikir lebih kreatif. Dari keterbatasan muncul peluang. Sebenarnya ide membangun bisnis tidak selalu identik dengan situasi atau kondisi terjepit. Malah wajar jika orang secara keuangan merasa cukup atau berkecukupan tapi tetap memikirkan bagaimana mendapatkan tambahan uang agar bisa menambah tabungan. Apalagi yang masih pas-pasan.
Bahkan ada yang merasa dalam situasi begitu, ide lebih kreatif keluar. Saat berkunjung ke pasar saya melihat gelagat orang belanja seperti lesu darah---seperti ada gejala anemia ekonomi. Belanja tak segabut dulu sampai memborong dagangan. Sekarang orang berpikir impulsif untuk berbelanja hanya sesuai kebutuhan saja.
Lalu dalam situasi bisnis begitu, jika kita ingin tetap berbisnis atau punya bisnis impian apa yang harus kita lakukan?. Apa mau sekedar jadi copycate bisnis yang lagi viral karena seperti menjadi spekulan yang untung-untungan, karena ketika viral, semua orang demam untuk mengikuti jualan produk yang sama. Jadi kita harus berusaha keras agar bisa bersaing secara kualitas, biar harga dan pasar yang memperebutkannya.
Bangun Bisnis Rumahan Impian dengan Memanfaatkan Peluang
Tapi dari pengalaman yang pernah saya alami langsung, dan akhirnya menjadi pilihan bisnis, ada beberapa strategi bisnis yang bisa kita lakukan dengan memanfaatkan kondisi turbulensi yang kita alami atau kondisi keterbatasan kita yang paling ekstrim sekalipun, tetapi kita masih bisa menjalankan rencana bisnis, sekalipun sedikit kerja ekstra di masa awal ketika transisi bisnis baru dimulai.
Memanfaatkan peluang tidak selalu dimaksudkan ada kekosongan, tapi juga bisa berarti memanfaatkan kondisi yang mungkin belum atau tidak dipikirkan oleh banyak orang.
Pertama; Bisnis dari Selisih Harga Laundry.
Pengalaman membangun bisnis dari peluang rumahan dan selisih harga yang saya maksud berkaitan dengan bisnis laundry. Bisnis yang potensial di wilayah kampus. Sambil memanfaatkan mesin cuci yang dimiliki dirumah, kita bisa memberdayakan fungsinya sebagai peluang bisnis baru.
Memanfaatkan trend baru mesin cuci koin. Kita bisa membuka laundry di rumah dan menerima pesanan tanpa harus memiliki mesin sendiri. Manfaatkan layanan cuci kering atau cuci lipat tanpa digosok yang biasanya sangat murah per kilonya dan bisa selesai dalam satu hari.