Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengapa Anak Meniru Kekerasan Para Orang Tuanya?

9 Januari 2024   21:42 Diperbarui: 17 Januari 2024   13:38 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kakak memukul adiknya sumber gambar klikdokter

Saat membaca kasus kekerasan orang tua terhadap anak, kita mungkin pernah bertanya “Kok bisa sih orangtua menyiksa anak bahkan sampai menghilangkan nyawanya?”.

Pertanyaan ini muncul karena kita nggak pernah membayangkan bahwa kita bisa melakukan hal tersebut pada anak kita. Jadi begitu ada orangtua lain yang tega melakukan hal tersebut, kita jadi heran karena menurut kita hal itu sesuatu yang"seharusnya"  tidak mungkin terjadi.

Saat seorang ayah baru pulang kerja hingga larut malam, sesampainya di rumah tak didapatinya makanan di atas meja.

Sementara anak balitanya merengek dan menangis meminta susu yang habis total persediaanya. Sang ibu yang tak kuasa menahan diri antara kasihan kepada anaknya, mengeluh karena sang suami belum bisa mengatasi masalah.

Apa yang terjadi?. Bak sinetron, rumah berubah menjadi "neraka" dalam sekejap. Kekerasan yang dipicu perasaan emosional karena merasa tak mampu memenuhi nafkah, harga diri yang terkoyak, keluhan istri, tangisan anak, menjadi "orkestra" yang tak diharapkan didengar saat lelah mencapai puncaknya.

Ilustrasi kekerasan ayah pada anak sumber gambar tribunmenado-tribunews.com
Ilustrasi kekerasan ayah pada anak sumber gambar tribunmenado-tribunews.com

Data dari Komnas Perempuan di tahun 2021 ternyata masih menunjukkan jika bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal atau privat masih dominan.  Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (31% atau 2.025 kasus) disusul kekerasan seksual (30%/1.938 kasus). 

Selanjutnya kekerasan psikis yang mencapai 1792 kasus atau 28% dan terakhir kekerasan ekonomi yang mencapai 680 kasus atau 10%. Pola ini sama seperti pola tahun sebelumnya. Hal ini memperlihatkan bahwa rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan.

Namun, ada kalanya kekerasan tak hanya dipicu oleh faktor ekonomi. Keluarga yang berkecukupan juga bisa menjadi ruang terjadinya kekerasan terhadap anak. 

Sekalipun dalam banyak kasus, faktor tekanan ekonomi sulit lebih kerap menjadi pemicu timbulnya kekerasan para orang tua terhadap anak.

Seperti kasus pembunuhan terhadap 4 anak di Jakakarsa di akhir tahun 2023 lalu. Tekanan ekonomi membuat orang tua tak bisa mengendalikan diri. Kalap, dan berakhir tragis justru kepada para anak-anaknya sendiri.

Namun ada dua hal lain yang sebenarnya menarik menjadi kajian kita, bahwa kekerasan juga bisa terjadi karena trauma masa lalu dan ekspetasi orang tua terhadap anak di tengah tekanan-tekanan hidup yang dialami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun