Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Tanpa Batas

6 Mei 2021   01:08 Diperbarui: 6 Mei 2021   01:19 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dit, ibu itu siapa?" tanya Enzy pada Ditri yang sedang melipat mukenanya.

Usai mendengar ceramah subuh, Enzy tidak menggesa untuk pulang. Gadis berhijab maroon itu sedari tadi justru memperhatikan seorang ibu di saf terdepan perempuan sebelah tiang. Enzy bahkan hafal tempat salat si ibu tak pernah pindah.

"Yang mana?" Ditri justru bertanya balik.

"Itu loh, ibu yang sholatnya di situ." Tangan Enzy menunjuk. "Dia selalu sholat di situ," lanjutnya.

"Oh, ya? Perhatian sekali kamu? Kalau Ustaz Mahen sholatnya di sebelah mana?" Ditri meledek Enzy.

"Apaan, sih? Aku serius."

"Aku juga serius!"

"Ditri nggak jelas!"

Jika tidak ingat sedang berada di area masjid, barangkali Ditri sudah tertawa keras. Sahabat Enzy itu bisa dikenali dari tawanya yang nyaring. Beruntung dia masih menjaga adab sebagai muslimah. Kedua tangan membekap mulutnya sambil menunduk.

Enzy meninggalkan Ditri yang masih berusaha menahan tawanya. Mengetahui Enzy sudah lebih dulu pergi, Ditri buru-buru melipat mukenanya, lalu berlari menyusulnya. Di pintu keluar khusus wanita, Ditri hampir saja menabrak seorang pria.

Bugh!

"Aww! Aduh ... jalan liat-liat, dong!" Ditri yang jatuh tersungkur mengaduh kesakitan.

Tidak sampai di situ, dia justru marah dan dan menilai orang lain lalai sehingga dia terjatuh. Tubuh pria yang posturnya jauh lebih kokoh itu terdengar meminta maaf. Sementara Ditri terus saja menggerutu kesal. Ocehannya berhenti saat mendongak untuk melihat siapa yang membuatnya jatuh.

"Emm, maaf, Ustaz." Ditri tersipu dan menyesal.

"Kamu nggak papa? Ada yang sakit? Maaf, saya tadi buru-buru."

"Emm, nggak, kok. Maaf saya yang salah, saya ngejar Enzy."

Mendengar nama Enzy disebut, Ustaz muda lulusan Kairo itu terdiam beberapa saat.

"Emm, saya permisi, Ustaz." Ditri buru-buru pergi.

***

"Zy! Awas kalau kamu ninggalin aku lagi, ya! Nggak fren banget, sih." Ditri meracau sejak tadi.

Sementara itu, Enzy tidak mengacuhkan ucapan Ditri. Matanya sedang memperhatikan perempuan di saf paling depan di dekat tiang. Perempuan yang selalu berada di sana setiap salat berjamaah di masjid ini. Enzy penasaran. Lima waktu salatnya dilakukan di masjid. Bahkan, berbuka pun di masjid.

"Zy! Kamu dengerin aku, 'kan?" Ditri menyenggol pundaknya. Tangannya digerakkan naik turun tepat di depan wajah Enzy.

Spontan Enzy menepis kibasan tangan Ditri. "Apa, sih?"

"Kamu yang kenapa. Bengong aja. Masih penasaran sama tu ibu-ibu?"

"Kamu kenal?"

Anggukan Ditri membuat Enzy memutar letak duduknya. Kali ini, dia menghadap Ditri dengan wajah serius.

"Siapa, Dit?"

Terjadi jeda. Ditri tampak sedang berpikir.

"Emm ... tapi ... tapi aku boong!" Ditri tergelak. Hampir saja tawanya meledak kalau saja tangan Enzy tidak membekap mulut Ditri.

Mata Enzy melotot menahan kecewa. Lagi-lagi Enzy bergegas meninggalkan Ditri yang belum melipat mukenanya.

Namun, di pintu keluar, Enzy tertegun sejenak. Langkahnya mendadak berhenti saat berpapasan dengan Ustaz Mahen. Pria tampan itu sama terkejutnya dengan Enzy. Ada sepotong diam yang menghinggapi keduanya.

Dari arah dalam masjid, tiba-tiba Ditri muncul dan langsung bertanya pada Ustaz Mahen. "Ustaz, ibu-ibu yang dekat tiang itu siapa, ya? Soalnya dari kemaren Enzy penasaran."

Mata Enzy terbelalak, gemeletuk giginya mengisyaratkan kekesalan tiada tara pada sahabatnya itu.

"Yang mana, ya. Mak Enap bukan?" Ustaz Mahen balik bertanya.

Ditri mengangkat bahunya. Dia justru mencari jawaban, bukan pertanyaan.

"Sepertinya Mak Enap. Yang tinggal di ujung jalan perbatasan desa." Ustaz Mahen beralih ke arah Enzy. "Ada apa kamu ingin tahu tentang Mak Enap?" tanyanya.

Enzy terperangah. Dia seperti tidak siap mendapat pertanyaan mendadak dari pria ini.

"Hah? Em, cuma penasaran saja. Ibadahnya rajin. Semua dilakukan di masjid."

"Iya. Dia tinggal sendiri. Katanya kalau di rumah sendirian, lebih baik di masjid banyak orang."

"Sepertinya dia kesepian." Ditri ikut menimpali.

"Anak-anaknya?" Akhirnya Enzy tertarik untuk bertanya.

"Entahlah. Anak bungsunya seumuran denganku. Kabarnya dia kerja di kota. Seingat saya Bandi atau saudaranya yang lain nggak pernah pulang. Lebaran sekalipun."

"Bisa terbayang rindu seorang ibu sama anak-anaknya. Kasihan." Ditri menghela napasnya. Tiba-tiba dadanya berdesir halus.

"Sudah menikah?" tanya Enzy lagi.

"Siapa? Aku? Ya belumlah."

Wajah Enzy mendadak pucat. Dia sama sekali tidak mengira respons pria di hadapannya sungguh konyol dan sukses membuatnya malu. Enzy baru saja menyesali kalimat tanya yang baru saja terlontar.

"Anak ibu itu, Ustaz. Bukan Ustaz. Kalau Ustaz mah saya tahu, nunggu khitbah di-acc, 'kan?" Ditri tersenyum simpul.

***

Jalan raya kabupaten di jam-jam mendekati buka puasa pasti macet. Seolah semua orang tumpah ruah di jalanan untuk ngabuburit. Apalagi di jalan sebelum pasar. Jalanan sampai trotoar dipadati para penjual takjil. Warna-warni takjil mengundang hasrat menyantapnya saat siang hari. Bila bedug buka puasa tiba, seteguk air dan sebutir kurma sudah cukup mengenyangkan.

Ditri dan Enzy baru selesai membayar empat bungkus kolak, gorengan, juga beberapa macam lauk ikan. Saat turun trotoar, kaki Enzy tiba-tiba melemah. Kedua kakinya seakan saling menghalangi. Beruntung ada sepasang tangan kokoh yang menangkap tubuh Enzy yang hoyong. Enzy nyaris tersungkur.

"Eh, maaf. Enzy? Kamu nggak papa?" Ustaz Mahen bertanya dengan panik.

"Nyaris aja nyungsep. Kamu kenapa melamun?" Ditri menimpali.

Enzy menatap tajam Ditri. Dia memberi isyarat mata untuk meredam mulut Ditri yang terus saja menggodanya. Bola mata Ditri berputar dan buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Kamu habis borong kolak?"

Enzy menggeleng. "Enggak, ini mau saya antar ke rumah Mak Enap. Sekalian buka bareng di sana."

"Saya boleh ikut?" tanya Ustaz Mahen.

"Hmm, sebaiknya jangan. Takut timbul fitnah kalau berduaan." Enzy berkilah.

"Siapa bilang berdua? Kan kita bertiga?"

Enzy cepat-cepat menutup mulutnya. Sekali lagi dia gagal mencari alasan untuk menolak. Sebelum Ditri protes, Enzy menyeretnya menuju jalan poros.

Sepanjang jalan, mereka bertiga lebih banyak diam. Hanyut dalam pusaran pikiran masing-masing. Bagi Enzy, ini adalah kesempatan untuk mengenal wanita malang itu lebih dalam. Menghibur dan mendampinginya barangkali mampu mengusir kesepian dan mendatangkan tawa Mak Enap.

Seperti sore ini, Mak Enap terlihat bahagia. Air mukanya jujur memberikan pancaran kebahagiaan itu. Ukuran bahagianya ternyata sederhana saja. Tidak muluk apalagi rumit.

"Ustad terima kasih, ya. Hari ini rumah saya rame. Ustad bawa Mbak Enzy."

Enzy melirik pria di sebelahnya. Apakah pria ini juga pernah kemari sebelumnya?

"Semoga kelak, jika kita tua nanti, jangan ada yang mati duluan. Biar tidak mengalami artinya kehilangan."

Enzy menoleh cepat ke arah pemuda jangkung yang berjalan berdampingan dengannya.

"Maksudnya?"

"Ini tentang masa depan kita, aku tidak akan sanggup jika kamu pergi duluan," ucapnya datar.

"Ustad sakit?" tanya Enzy.

Pria itu malah tertawa kencang. Sementara, Enzy masih kebingungan dengan ucapan Ustaz barusan.

Airmolek, 27 April 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun