"Oh pantesan mas tadi bapak ngedrop tekanan darahnya naik mas, tadi baru aku bawa ke dokter", kataku lagi.
"Merawat bapak itu memang harus ekstra sabar mas, sabar dengerin omelan omelannya, sabar dengerin teriakan teriakannya ", kataku lagi sedikit kesal. Sesaat kemudian akupun menutup telfonku.Â
Kembali aku beraktifitas seperti biasanya berangkat kerja pagi pulang sore, dan terkadang masuk sore pulang pagi harinya. Sudah satu minggu bapak di rumah. Malam hari tiba tiba bapak tanya kapan kakakku pulang, beliau sudah ingin ke rumah kakakku lagi.
"Ga masmu udah pulang belum?kok lama banget perginya? Bapak pengen ke rumahnya lagi". Terpaksa aku berbohong pada bapak. Namun esoknya bapakpun kembali bertanya kapan kakakku datang, dan akupun kembali berbohong. Hampir tiap hari bapak menanyakan kapan kakakku pulang, " Kasihan bapak", bathinku mungkin beliau ingin sekali tinggal di sana lagi. Kutelfon kakakku bahwa setiap hari bapak menanyakannya, ternyata jawaban kakak tetap sama ga bisa merawat bapak, istrinya sering mengeluh ngantuk dan terganggu semenjak ada bapak. Memang keterlaluan masku, aku yang kondisi ekonominya di bawah dia saja rela mengorbankan pekerjaan istriku demi untuk menjaga bapak, tapi masku justru membela istrinya dan menomorduakan bapak. "Hhhhhhhhh", kutarik panjang nafasku.
Semenjak itu kondisi ayahku semakin drop, susah jika disuruh makan, tiap hari selalu menanyakan kapan kakakku menjemputnya. Aku dan istriku sangat bingung mengatasinya.Â
Pagi ini saat selesai sarapan tiba tiba istriku berteriak teriak.
"Bi bapak bi....!" Aku langsung berlari ke kamar bapak.
Kulihat bapak diam tidak bergerak, wajahnya pucat. Kuperiksa denyut nadinya, sangat lemah. Segera kubawa bapak ke rumah sakit, dan bapak langsung masuk di ruang icu. Dokter menjelaskan kondisi bapak sangat serius dan harus dirawat. Aku sangat sedih mendengar pernyataan dokter. Sesaat kemudian aku masuk ke ruangan bapak. Kulihat bapak masih belum sadar tak berapa lama perlahan beliau membuka matanya.
"Ga mana masmu?"Â Dengan kondisi seperti inipun yang diingat bapakku cuma mas Yogi.
"Iya pan nanti saya telfonin Mas Yogi pak, bapak istirahat aja", kataku.
Kemudian aku segera keluar dan menelfon Mas Yogi.